Kamis, 23 Oktober 2014



yang bingung mau buat makalah tentang perilaku politik, ni bisa jadi referensi guys :D

BAB I
PENDAHULUAN

A.  LATAR BELAKANG
Perilaku politik merupakan perilaku yang menampilkan kegiatan pelibatan dan keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan yang dibuat oleh pemerintah[1].Perilaku politik dapat kita temukan pada aktivis-aktivis politik seperti anggota partai, parlemen, negarawan, politisi, dan lain sebagainya. Selain itu dapat pula ditemukan pada setiap individu manusia khususnya warganegara Indonesia, seperti yang akan penulis bahas dalam makalah ini. Perwujudan perilaku politik warganegara adalah melalui hak suara dalam pemilihan umum. Perilaku politik tiap individu berbeda-beda berdasarkan faktor yang mempengaruhinya dan lingkungan tempat individu itu berada.
Jika kita amati bersama, perilaku politik warganegara memiliki banyak variasi. Setiap warganegara memiliki cara tersendiri dalam berperilaku politik. Hal ini dapat kita lihat pada waktu pemilihan umum. Ada warganegara yang menggunakan hak pilihnya dengan benar, tetapi ada pula yang tidak atau sering kita sebut sebagai golongan putih (golput). Golput digunakan untuk merujuk pada fenomena: orang yang tidak menghadiri tempat pemungutan suara, orang yang datang ke tempat pemungutan suara tetapi tidak menggunakan hak pilihnya, dan orang yang menggunakan hak pilihnya namun dengan jalan menusuk bagian putih dari kartu suara. Bukan tanpa alasan warganegara Indonesia memilih untuk golput. Warganegara golput bukan berarti mereka tidak peduli terhadap masa depan negara. Mereka memiliki berbagai pertimbangan, salah satunya karena mereka menganggap bahwa para calon pemimpin atau calon wakil rakyat tidak berkompeten.Jadi jalan untuk golput ini diharapkan dapat menjadi koreksi konstruktif terhadap partai politik, negara, dan realitas hidup.
Melihat perilaku politik yang demikian ini, penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai perilaku golput. Penulis akan membahasnya secara rinci hal-hal apa saja yang mendasari warganegara untuk golput.

B.  RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana awal mula terjadinya golput ?
2.      Apa alasan warganegara untuk berperilaku golput ?
3.      Apa tujuan warganegara yang berperilaku golput ?

C.  TUJUAN PENULISAN
1.      Untuk menjelaskan awal mula terjadinya perilaku golput.
2.      Untuk menjelaskan alasan warganegara untuk berperilaku golput.
3.      Untuk menjelaskan tujuan warganegara yang berperilaku golput.

D.  MANFAAT
Selain untuk mencapai tujuan, penulis juga memiliki manfaat yang jelas dari penulisan makalah ini. Adapun manfaat dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1.    Secara praktis, makalah ini diharapkan dapat menjadi tambahan wawasan kepada penulis, masyarakat dan pihak-pihak lain yang membutuhkan, tentang perilaku politik warganegara Indonesia.
2.    Secara teoritis, makalah ini diharapkan mampu menjadikan inspirasi dalam pembuatan makalah. Setidaknya tulisan ini mampu memberikan gambaran dan referensi untuk membuat makalah yang lebih baik lagi.







BAB II
PEMBAHASAN

A.  Awal Mula Terjadinya Perilaku Golput
Kata golput adalah singkatan dari golongan putih. Makna inti dari kata golput adalah tidak menggunakan hak pilih dalam pemilu dengan berbagai faktor dan alasan.Gatut Saksono (2013: 49) mengutarakan sejarah munculnya perilaku politik sebagai berikut:
1.      Golput pada Masa Sebelum dan Sesudah Orde Baru
Pada masa sebelum orde baru hanya terdapat satu pemilu yaitu pada tahun 1955. Pemilu yang pertama itu berlangsung dengan penuh semangat, karena pada waktu itu semangat proklamasi sangat menggebu-gebu. Tidak terdapat perilaku curang atau golput pada pemilu pertama ini. Rakyat yang masih memiliki rasa nasionalisme tinggi benar-benar mencoblos tanda gambar partainya berdasarkan pilihan ideologinya dengan penuh rasa sadar dan ikhlas. Hasil Pemilu 1955 dengan daftar pemilih sebanyak 43.104 juta, dengan partisipasi pemilih sebesar 91,41 %. Mereka yang tidak menggunakan hak pilihnya sebanyak 8,59 %. Hal ini bukan karena warganegara golput tetapi karena tempat tinggal mereka yang jauh dari tempat pemungutan suara, banyaknya warganegara yang buta huruf.
Pemilu pertana Orde Baru berlangsung pada tahun 1971. Mayoritas suara parlemen berada pada rezim Soeharto. Semua ada pada pengaruh Soeharto, banyak anggota parlemen yang terpilih tanpa melalui pemilihan. Mereka yang menjadi anggota MPR berasal dari Orsospol dan golongan fungsional lain. Mereka telah dicuci otaknya. Suara mereka di sidang MPR tidak boleh berlawanan dengan ideologi pembangunan orba yang sangat otoriter. Bagi mereka yang menentang akan dipecat. Pada masa pemerintahan orba mulai muncul perilaku golput, meskipun tidak berumur panjang. Ada dua kelompok oposisi yang muncul pada era Soeharto yaitu Petisi 50 dan Gerakan Rakyat Marhaen (GRM). Kedua kelompok ini sebagai pelopor munculnya perilaku golput. Sehingga pada era orba terdapat peningkatan jumlah golput yang sangat tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat ketidakpuasan rakyat pada pemerintahan orba. Soeharto mengingkari janji-janjinya untuk memajukan perekonomian Indonesia dengan berlandaskan Pancasila.
2.      Golput pada Masa Reformasi
Menurut catatan Jaringan Pendidikan Pemilihan untuk Rakyat (JPPR), dari 26 Pemilu kepala daerah tingkat provinsi yang berlangsung sejak tahun 2005 hingga 2008, 13 Pemilu Gubernur justru dimenangi golongan putih alias golput. Kondisi ini menular ke DKI Jakarta, jumlah pemilih golput mencapai 39,2 %. Hal ini terjadi karena sebagian besar warga ibukota meragukan proses pesta demokrasi yang baru pertama kali dilaksanakan di kota Jakarta. Akan tetapi pada pemilukada 2012 angka golput turun menjadi 37 %. Rupanya pemilukada 2012 sedikit mengubah perilaku politik warganegara karena sosok Jokowi dipandang sebagai pahlawan perubahan.
Terdapat pula daerah-daerah lain yang angka golputnya sangat tinggi seperti di Jawa Barat, Medan, Jawa Timur, Banyumas, dan lain sebagainya. Meningkatnya angka golput tidak lagi dapat dibendung meskipun berbagai upaya telah dilakukan, seperti melalui iklan media massa, via seluler, bahkan fatwa MUI sekalipun. Karena sebagian dari warganegara sudah mulai terkonsep dalam pemikirannya bahwa sebagian besar partai politik tidak layak mendapatkan kepercayaan dari suara rakyat.
Jika kita cermati bersama, pemilu demokratis hanya terjadi pada pemilu pertama kali yaitu pada tahun 1955. Setelah itu apalagi di era reformasi ini semakin banyak ditemukan fenomena golput di masyarakat. Golput memang bukan pilihan yang paling bijak dan tepat, namun ada kalanya golput harus dilakukan pada situasi tertentu. Dapat kita bayangkan jika tokoh-tokoh partai yang mencalonkan diri tidak ada yang berkompeten dan kita harus memilih salah satu. Justru negara Indonesia akan semakin hancur jika kita telah memilih calon yang salah. Ketika itulah masyarakat lebih memilih untuk golput. Masyarakat beranggapan bahwa dengan tidak memilih, calon pemimpin akan menyadari apakah dirinya benar-benar berkompeten atau tidak.
Sebenarnya golput dapat diminimalisasi jika kinerja parlemen selalu amanah. Seperti pada pemilu pertama kali tahun 1955. Semua berlangsung adil dan demokratis. Hampir seluruh daftar pemilih menggunakan hak suaranya dengan benar. Jika pun ada yang tidak memilih itu tidak termasuk dalam kategori golput. Akan tetapi terjadi karena alasan-alasan tertentu yang sangat tidak memungkinkan, seperti yang sudah dijelaskan di atas.

B.  Alasan Warganegara Berperilaku Golput
Sebagian warganegara Indonesia lebih memilih untuk berperilaku golput merupakan bentuk kekecewaannya terhadap mekanisme politik. Kekecewaan tersebut muncul karena berbagai alasan seperti:
1.      Hilangnya sosok kekharismaan pemimpin lokal yang hidup bersama rakyat seperti Soekarno.
2.      Hilangnya lembaga pengawal demokrasi yang ideal dari panggung politik.
3.      Hilangnya harapan hidup rakyat akibat tekanan dan ketidakadilan yang telah lama merasuk dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Hal-hal semacam itulah yang menyebabkan rakyat menjadi apatis, tidak percaya pada seluruh proses demokrasi, dan pada akhirnya golput menjadi pilihan yang paling rasional.
Lebih jelasnya Gatut Saksono (2013: 76) menjelaskan beberapa alasan warganegara berperilaku golput, sebagai berikut.
1.      Sikap apatis untuk tidak memilih
Warganegara berpandangan bahwa apapun/siapapun partai politik yang menang tidak ada perubahan yang signifikan. Lebih baik mereka bekerja untuk menghidupi keluarga. Warganegara memandang kaum elit politik tidak mengalami perubahan yang jelas. Hal ini bisa dari masyarakat yang menjadi korban kebijakan politik yang sedang berkuasa[2]. Ada sebagian masyarakat yang sangat mengerti dengan politik menganggap bahwa pemilu hanya sebagai sandiwara politik karena hakikatnya, pemilu hanya akan menguntungkan secara politik dan ekonomi kepada kaum elit politik.
2.      Tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT)
Warganegara yang benar-benar ingin menggunakan hak suaranya justru tidak terdaftar dalam DPT.
3.      Konsep ideologis
Warganegara memiliki ideologi yang kuat mengenai buruknya anggota dewan yang selama ini diekspos di media massa. Hal tersebut tidak terlepas dari perilaku dan kinerja anggota dewan dalam kapasitasnya sebagai wakil rakyat, yang dinilai gagal atau tidak mempu menyuarakan aspirasi dan mewujudkan keinginan rakyat yang diwakilinya. Bahkan tak sedikit, misalnya di antara mereka kemudian lebih mementingkan diri, keluarga, dan kelompoknya.
4.      Bingung memilih
Banyak warganegara yang masih merasa bingung ketika akan memilih, maka tidak sedikit dari mereka yang memilih lebih dari satu partai politik.
Selain karena alasan-alasan tersebut Gatut juga menyebutkan adanya tiga isu utama dalam pergeseran fungsi politik yaitu:
1.      Adanya geopolitik
Yaitu politik menjadi ruang global yang menembus sekat dan ruang tanpa batasan geografis yang jelas sehingga kehilangan orientasinya untuk mengemban amanah rakyat.
2.      Adanya politik ruang
Yaitu ruang publik yang menjadi orientasi politik dimana pencitraan menjadi tujuan utama.
3.      Adanya politik waktu
Yaitu esensi dan perilaku substansi politik tidak diutamakan karena mengutamakan kecepatan dan percepatan untuk mencapai kepentingan.
Ketiga isu di atas membuat masyrakat tidak puas akan kinerja politik yang jauh dari kenyataan dan jauh dari harapan mereka. Jadi fenomena golput merupakan reaksi atas gejala politik yang gagal membawa perubahan bagi masyarakat.
Fenomena tingginya angka golput pada era reformasi ini menunjukkan meluasnya apatisme rakyat terhadap proses rekruitmen pemilihan pemimpin di daerah-daerah di seluruh Indonesia. Apatisme ini muncul karena masyarakat berkali-kali telah dikecewakan pada pemilu, pilpres, pilgub maupun pilkada. Pergantian seorang pemimpin ternyata sama sekali tidak membawa perubahan perbaikan. Sehingga masyarakat pun menarik kesimpulan sendiri bahwa siapapun yang memimpin tidak ada bedanya.

C.  Tujuan Warganegara Berperilaku Golput
Golput dapat diartikan sebagai penolakan terhadap mekanisme dan sistem yang sedang berjalan pada partai politik. Warganegara berperilaku politik bukan tanpa tujuan. Dengan berperilaku golput mereka menghendaki adanya perubahan sistem politik dalam kehidupa berbangsa dan bernegara. Adanya fenomena golput diharapkan dapat menjadi simbol pembelajaran bagi setiap partai politik agar mereka memperoleh lagi kepercayaan dari rakyat. 
Fenomena golput yang berkembang pada akhir-akhir ini khususnya pada pemilu 2014 merupakan reaksi warganegara untuk menyadarkan para anggota parlemen atau calon pemimpin. Warganegara menginginkan calon pemimpin yang benar-benar pro rakyat bukan pro partai. Mereka harus mengetahui dan memahami apa yang dibutuhkan warganegaranya. Warganegara saat ini sudah pandai, jadi tidak seharusnya para kaum elit politik memperdaya warganegaranya dengan politik uang ketika pemilu. Bukan uang yang warganegara inginkan, tetapi kemakmuran, kesejahteraan, dan kemajuan negara lah yang menjadi idaman. Akan tetapi hingga saat ini kaum elit politik sama sekali tidak dapat memahami apa yang diinginkan oleh rakyatnya. Mereka hanya memikirkan bagaimana mereka bisa mengembalikan modal yang telah dikeluarkan untuk penyelenggaraan pemilu. Hal itu mereka lakukan dengan menggunakan uang rakyat, kinerja mereka menjadi tidak amanah. Otomatis perbuatan mereka juga melunturkan nilai-nilai demokrasi. Pemerintahan tidak lagi berasal dari, oleh, dan untuk rakyat akan tetapi pemerintahan ada pada tangan kaum elit politik.
Melihat fakta-fakta tersebut warganegara tentunya tidak ingin negara Indonesia hancur dengan calon-calon pemimpin yang tidak bertanggung jawab. Sehingga warganegara lebih memilih untuk golput ketika pemilu berlangsung. Warganegara mengharapkan para kaum elit politik menyadari, bahwa warganegara tidak menyukai kinerja mereka yang sangat merugikan rakyat. Dengan adanya perilaku golput tersebut maka para kaum elit politik diharapkan mampu untuk instrospeksi diri dan instrospeksi kinerjanya selama ini di parlemen. Mereka tidak boleh lupa dengan janji-janji mereka ketika kampanye. Janji untuk membawa rakyat pada kemakmuran dan kesejahteraan serta obral janji lain.
Tujuan masyarakat Indonesia berperilaku golput ketika pemilu adalah sebagai berikut.
1.      Sebagai simbol pembelajaran bagi partai politik.
Hal ini dikarenakan beberapa penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Survei Nasional menunjukkan bahwa kondisi parpol saat ini mengalami krisis kepercayaan di masyarakat (Gatut, 2013: 85). Terkait hal tersebut hendaknya partai politik terlebih dulu menyeleksi secara ketat setiap calon yang ingn maju agar tidak terjadi krisis kepercayaan. Misalnya ketika Julia Perez yang berencana mencalonkan dirinya sebagai wakil bupati Pacitan. Banyak pihak yang merasa keberatan akan hal ini. Masyarakat era sekarang ini sudah pandai memilih. Jadi jika terdapat calon-calon yang kiranya kurang berkompeten maka masyarakat lebih memilih untuk golput.
2.      Berusaha menjadikan golput sebagai sebuah peradaban semacam ideologi (hak asasi manusia).
Hal ini bukan berarti golput lebih baik, akan tetapi ada kalanya golput itu memang harus dilakukan. Untuk apa memilih calon-calon yang tidak cakap dan sering melanggar janjinya. Hal itu justru akan meruntuhkan negara Indonesia.
3.      Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat akan masa depan demokrasi.
Selama ini masyarakat tidak mendapatkan kepercayaan politik melainkan perdayaan atau penipuan politik. Tidak ada realitas politik tetapi fatamorgana politik. Tidak ada kebajikan politik tetapi permainan bebas politik. Fenomena inilah yang memunculkan aneka golput (Gatut, 2013: 93).

Golput merupakan refleksi hati nurani dan akal budi memantul terang di tengah kehidupan politik Indonesia (Gatut, 2013: 114). Golput justru akan menjadi refleksi hukum terhadap pejabat publik baik eksekutif maupun legislatif pemimpin produk pemilu. Golput sebagai pilihan membentuk peta kekuatan baru atau gagasan atau paradigma politik yang berorientasi pada kemaslahatan bangsa bukan kepentingan parsial. Golput harus memberikan pencerahan dan energi alternatif terhadap kegagalan substansi demokrasi yang diperjuangkan. Golput sebagai gerakan sosial dan politik yang lahir dari pemahaman dan perjuangan politik dan tulus demi mewujudkan keadilan Indonesia. Golput harus menjadi reformasi politik, agen perubahan demi menemukan kembali demokrasi pancasila.
Oleh karena itu dalam konteks demokrasi yang gagal ini golput tidak sekedar hanya sebagai isu dan wacana politik tetapi menemukan sekaligus mendaur ulang demokrasi pancasila menuju kematangan demokrasi yang ideal. Golput menjadi strategi ampuh untuk menemukan kembali demokrasi Pancasila yang murni.









BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Perilaku politik merupakan perilaku yang menampilkan kegiatan pelibatan dan keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan yang dibuat oleh pemerintah.Perwujudan perilaku politik warganegara adalah melalui hak suara dalam pemilihan umum. Perilaku politik warganegara memiliki banyak variasi. Setiap warganegara memiliki cara tersendiri dalam berperilaku politik. Hal ini dapat kita lihat pada waktu pemilihan umum. Ada warganegara yang menggunakan hak pilihnya dengan benar, tetapi ada pula yang tidak atau sering kita sebut sebagai golongan putih (golput).
Perkembangan golput dimulai sejak orde lama hingga orde reformasi sekarang ini. Meskipun tingkat persentasenya yang berbeda, semakin ke sini semakin meningkat. Tentunya hal ini disebabkan oleh kondisi parlemen yang semakin buruk, sehingga mendorong masyarakatnya untuk berperilaku golput dalam pemilu.
Sebagian warganegara Indonesia lebih memilih untuk berperilaku golput merupakan karena rasa kekecewaannya terhadap mekanisme politik. Kekecewaan tersebut muncul karena berbagai alasan seperti:
1.      Hilangnya sosok kekharismaan pemimpin lokal yang hidup bersama rakyat seperti Soekarno.
2.      Hilangnya lembaga pengawal demokrasi yang ideal dari panggung politik.
3.      Hilangnya harapan hidup rakyat akibat tekanan dan ketidakadilan yang telah lama merasuk dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Selain itu perilaku golput itu muncul di masyarakat karena:
1.      Adanya sikap apatis untuk tidak memilih
2.      Tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT)
3.      Adanya konsep ideologis
4.      Adanya rasa bingung dalam memilih
Masyarakat berperilaku golput bukan tanpa tujuan, akan tetapi mereka memiliki argumentasi kuat yang mendasari perilaku golput, di antaranya sebagai berikut:
1.      Sebagai simbol pembelajaran bagi partai politik.
2.      Berusaha menjadikan golput sebagai sebuah peradaban semacam ideologi (hak asasi manusia).
3.      Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat akan masa depan demokrasi.

B.  Saran
Hak pilih dan memilih memang seharusnya digunakan dengan baik dan benar. Bagi yang tidak menggunakannya lalu menjadi golput hendaknya menjadi golput aktif yaitu golput yang mampu menyumbangkan pikiran, tenaga dan kekuatan politiknya. Melakukan pendidikan politik demi menemukan kembali demokrasi yang gagal diaplikasikan bagi kehidupan masyarakat.















DAFTAR PUSTAKA

Saksono, Gatut. 2013. Golput dan Masa Depan Bangsa-Golput Sebagai Koreksi Konstruktif para Parpol, Negara, dan Realitas Hidup. Yogyakarta: Elmatera.

Sumber internet:
_______ Pemilih Apatis dan  Pragmatis-Golput sebagai Sikap Apatis Masyarakat terhadap Pemilu.http://novithen.wordpress.com/pemilih-apatis-dan-pragmatis/. (Diakses 19 Oktober 2014 pukul 16.25)


[1]http://teori-ilmupemerintahan.blogspot.com/2010/12/perilaku-politik.html

Sabtu, 12 April 2014



contoh makalah tentang pemilu..
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
      Indonesia telah memasuki fase dan babak baru yang jauh lebih berbeda dari era sebelumnya, termasuk dalam dimensi politik.Negeri ini telah melakukan berbagai eksperimen politik sejak masa kemerdekaan hingga saat ini.Dalam perkembangan masyarakat di Indonesia, proses politik dianggap berhubungan dengan perkembangan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.Semakin demokratis sistem politik suatu negara, semakin tercipta bagi kemajuan pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
      Menurut Hadiz[1], walaupun era pasca Soeharto ditandai liberalisasi politik, kecenderungan seperti itu tidak dengan sendirinya mampu mengubah relasi-relasi sosial kekuasaan politik. Indonesia telah memiliki beberapa presiden setelah era Soeharto, para presiden tersebut ternyata gagal menjalankan amanat reformasi untuk menciptakan pemerintahan yang lebih adil, bersih, transparan, dan bertanggung jawab.
      Salah satunya politik dalam pemilihan umum tahun 2004, politik yang berada pada saat pers bebas.Konsekuesinya, pemilu saat itu lebih bernuansa, penuh warna, semarak, dan penuh informasi. Hal ini tak lepas dari peran pers yang menjadi salah satu metode yang paling efektif  untuk melakukan kampanye, membentuk opini publik dan menyampaikan visi politik.
      Akan tetapi politik dalam pemilu saat itu jugamengakibatkan politik bersifat kekananak-kanakan.Politik pemilu tersebut lebih mementingkan angka urut pemilu, iklan di televisi, dan popularitas para calon presiden.Para pemilih pun menjadi kecewa terhadap partai politik.Mereka cenderung lebih memilih golongan putih (golput), daripada memilih para pemimpin yang tidak bertanggungjawab.
      Oleh karena itu politik dalam pemilu harus mengedepankan calon pemimpin bangsa yang memiliki kemampuan dan kapabilitas diri.Sehingga tercipta politik yang tidak kekanak-kanakan dan dapat dipercaya masyarakat.Partisipasi masyarakat dalam pemilu pun menjadi lebih tinggi dan golongan putih menjadi berkurang.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pelaksanaan Pemilihan Umum tahun 2004?
2.      Bagaimana kondisi politik dalam Pemilihan Umum tahun 2004?
3.      Bagaimana cara menciptakan politik yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahuipelaksanaanPemilihan Umum tahun 2004.
2.      Untuk mengetahui kondisi politik dalam Pemilihan Umum tahun 2004.
3.      Untuk menciptakan politik yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pelaksanaan Pemilu 2004
      Pemilu 2004 merupakan awal dari pemilu langsung.Pemilih memilih secara langsung caleg dan capres.Hal tersebut ditimbang atas dasar UU No 12 tahun 2003 tentang pilihan legislatif.Pemilihan umum di laksanakan secara bersamaan, yakni presiden dan legislatif diselenggarakan secara bersamaan. Data 2004 election: 24 parpol, 550 kursi tersedia, uang yang digunakan 3.2 trilun, partai yang menang golkar, tingkat partisipasi 84,07%.
      Pemilihan Umum 2004 merupakan sejarah tersendiri bagi pemerintah dan rakyat Indonesia.Pada era pemilu 2004 ini, untuk pertama kali rakyat Indonesia memilih presidennya secara langsung.Sehingga rakyat akan mendapatkan wakil-wakil atau pemimpin bangasa secara demokratis sesuai dengan kemauan dan aspirasinya. Pemilu 2004 sekaligus membuktikan upaya serius mewujudkan sistem pemerintahan Presidensil yang dianut oleh pemerintah Indonesia.Sistem pemilu yang digunakan adalah Proporsional dengan Daftar Calon Terbuka.Proporsional Daftar adalah sistem pemilihan mengikuti jatah kursi di tiap daerah pemilihan.Jadi, suara yang diperoleh partai-partai politik di tiap daerah selaras dengan kursi yang mereka peroleh di parlemen.
Pemilu 2004 ini dibagi menjadi maksimal tiga tahap (minimal dua tahap):[2]
1.      Tahap pertama (Pemilu Legislatif) adalah pemilu untuk memilih partai politik (untuk persyaratan pemilu Presiden) dan anggotanya untuk dicalonkan menjadi anggota DPR, DPRD, dan DPD. Tahap pertama ini dilaksanakan pada tanggal 5 April 2004.
2.      Tahap kedua (Pemilu Presiden putaran pertama) adalah untuk memilih pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden secara langsung. Tahap kedua ini dilaksanakan pada tanggal 5 Juli 2004.
3.      Tahap ketiga (Pemilu Presiden putaran kedua)adalah babak terakhir yang dilaksanakan hanya apabila tahap kedua, belum ada pasangan calon yang mendapatkan suara lebih dari 50%.Tahap ketiga ini dilaksanakan pada tanggal 20 September 2004.
      Untuk memilih anggota parlemen, digunakan sistem pemilu Proporsional dengan varian Proporsional Daftar (terbuka).Untuk memilih anggota DPD, digunakan sistem pemilu Lainnya, yaitu Single Non Transverable Vote (SNTV).Sementara untuk memilih presiden, digunakan sistem pemilihan Mayoritas/Pluralitas dengan varian Two Round System (Sistem Dua Putaran).
Mekanisme pengaturan pemilihan anggota legislatif  ini ada di dalam Undang-undang Nomor 12 tahun 2003. Untuk kursi DPR dijatahkan 550 kursi.Daerah pemilihan anggota DPR adalah provinsi atau bagian-bagian provinsi.[3]Untuk kursi di DPRD I berlaku ketentuan berikut:[4]
1.      Daerah pemilihan DPRD I adalah kabupaten atau kota atau gabungan kabupaten/kota;
2.      Provinsi berpenduduk sampai dengan 1 juta mendapat 35 kursi;
3.      Provinsi berpenduduk > 1 juta sampai dengan 3 juta, beroleh 45 kursi;
4.      Provinsi berpenduduk > 3 juta sampai dengan 5 juta, beroleh 55 kursi;
5.      Provinsi berpenduduk > 5 juta sampai dengan 7 juta, beroleh 65 kursi;
6.      Provinsi berpenduduk > 7 juta sampai dengan 9 juta, beroleh 75 kursi;
7.      Provinsi berpenduduk > 9 juta sampai dengan 12 juta, beroleh 85 kursi;
8.      Provinsi berpenduduk > 12 juta beroleh 100 kursi.
Sementara itu, untuk DPRD II (Kota/Kabupaten) berlaku ketentuan[5]:
1.      Daerah pemilihan DPRD II adalah kecamatan atau gabungan kecamatan;
2.      Kabupaten atau kota berpenduduk sampai dengan 100 ribu beroleh 20 kursi;
3.      Kabupaten atau kota berpenduduk > 100 ribu sampai dengan 300 ribu beroleh 25 kursi;
4.      Kabupaten atau kota berpenduduk > 300 ribu sampai dengan 400 ribu beroleh 35 kursi;
5.      Kabupaten atau kota berpenduduk > 400 ribu sampai dengan 500 ribu beroleh 40 kursi, dan
6.      Kabupaten atau kota berpenduduk > 500 ribu beroleh 45 kursi.
Pada Pemilu 2004, total kursi untuk DPR, DPRD I, dan DPRD II sebagai berikut:
1.  Kursi DPR memperebutkan 550 kursi;
2.  Kursi DPRD I memperbutkan 1.780 kursi; dan
3. Kursi DPRD II memperbutkan 13.665 kursi.
Pada tahun 2004 partai yang menang adalah golkar, namun yang jadi presiden adalah dari parta demokrat, karena terjadi koalisi antara golkar dan demokrat.
B.     Kondisi Politik Pemilu Tahun 2004
      Pentas politik di Indonesia tampaknya cukup kental diwarnai dengan berbagai fenomena menggelikan dan kekanak-kanakan. Beberapa politisi menyebut politisi lain sebagai kanak-kanak dan tidak mampu mengurus negara ini dan dirinya sendiri.Kemudian politisi menyebut kekanak-kanakan itu marah dan balas mengejek.Saling ejek sering terjadi persis kanak-kanak.
      Pada era Pemilu 2004, politisi kekanak-kanakan disebutkan oleh Taufik Kiemas terhadap capres Susilo Bambang Yudoyono (SBY).Taufik menyebut SBY kekanak-kanakan karena mengadu kepada pers ketika tak diacuhkan Megawati.SBY sebagai Menko Polkam tidak dilibatkan dalam rapat Polkam.Merasa tak difungsikan, SBY berbicara kepada pers. Itulah yang disebut Taufik kekanak-kanakan.
      Fenomena politik kanak-kanak masih berlanjut, dalam kampanye legislatif Maret 2004, anak-anak ternyata ikut meramaikan. Tanpa harus tahu apa makna kampanye, anak-anak turut dilibatkan dalam kegiatan orang dewasa ini. Kejadian unik dan menggelikan terjadai ketika kampanye di Kecamatan Kamapar Kiri, Kabupaten Kampar Riau yang dihadiri Ketua Umum PPP Hamzah Has.Seorang anak balita yang baru belaajar berbicara ditampilkan dalam kampanye. Skenarionya sang anak meneriakkan “hidup PPP”. Tetapi di luar dugaan semua orang, sang balita meneriakkan “coblos moncong putih”. Momen ini menjadi sebuah rekayasa yang digagalkan oleh keluguan.Tanpa disadari anak ternyata bisa memperdayai orang dewasa, keluguan dan kepolosan kadang dapat mengalahkan tipu daya.
      Nomor urut juga menjadi bahan kampanye bagi capres yang bersaing dalam pilpres 2004.Tim kampanye Partai Golkar misalnya bangga menunjukkan bahwa dimana-mana presiden adalah nomor satu. Sebaliknya tim kampanye capres Megawati yang mendapatkan nomor dua juga tak kalah akal. Bunyinya pun akal-akalan, ikut pemilu nomor satu lalu nomor duanya dicoblos. Tim kampanye Amien Rais mengiklankan cara melakukan pencoblosan di TPS. Pertama ambil surat suara, kedua dibuka, lalu dicoblos nomor tiga, kemudian dilipat, dan kelima dimasukkan ke kotak suara.
      Tampaknya nomor dan angka memang menjadi fenomena tersendiri dalam rangkaian pemilu 2004 ini.Perselisihan pemilu juga banyak terjadi karena angka-angka yang dapat dimainkan oleh oknum petugas tertentu sehingga mengundang protes dari kontestan yang dirugikan.Karena mendapat sejumlah angka, maka sebagian petugas KPU tega melanggar sumpahnya untuk berlaku adil.
      Politik simbol tak dapat dihilangkan dalam pemilu 2004.Dalam tataran tertetu, simbol dan lambang biasanya digunakan oleh kelompok yang belum memiliki bahasa dan komunikasi yang baik. Politik simbol memang dianggap sebagai cara dan wilayah yang aman untuk menyembunyikan orang-orang yang bermain di arena politik. Dengan simbol yang kuat politisi berusaha menutupi kelemahannya dengan simbol partai yang bersih.Politisi di dalamya berusaha menutupi kekotoran cara-caranya.Para pemilih mencoblos simbol yakni lambang partainya.Sementara itu para politisi ikut mengambil manfaat dengan bersembunyi di belakang simbol sehingga rakyat tidak tahu siapa mereka, malingkah, koruptorkah, pemabukkah atau politisi baik-baik.
      Popularitas juga mempengaruhi politik pemilu tahun 2004. Semua isu dan berbagai cara digunakan untuk dapat lebih popular di Indonesia. Siapa yang tidak mengenal Wiranto, Megawati, Amies Rais, SBY, dan Hamzah Has.Mereka berkampanye untuk lebih mempopulerkan eksistensinya meraih simpati bahkan menimbulkan fanatisme.
      Wiranto misalnya mengangkat popularitasnya dengan mengkampanyekan diri sebagai pemimpin kuat, tegas dan memperhatikan nasib rakyat.Megawati menampilkan diri sebagai pemimpin yang memperbaiki masa silam yang buruk.Amien Rais menampilkan sebagi pemimpin yang jujur, cerdas, dan berani.SBY menampilkan diri sebagai pemimpin yang mampu menciptakan rasa aman, keadilan dan kesejahteraan. Hamzah Has mempersepsikan diri untuk menjadi pemimpin yang akan memajukan pendidikan, agama, dan generasi infotech.
      Dalam pilpres 2004, simpati juga menjadi faktor penentu yang sangat signifikan.Capres SBY langsung meroket popularitasnya setelah dituding anak kecil olek Taufik Kiemas.Wiranto meroket popularitsnya setelah makin banyak tudingan miring dan tak mendasar mengenai masa lalunya.Megawati menyebutkan sebagai orang yang menerima kekuasaan setelah adanya kebobrokan Orde Baru” dan dizalimi Orba.
      Peranan pers dalam pemilu 2004 sangat besar mengangkat popularitas seorang calon pemimpin.Pers dapat dikatakan sebagai salah satu pilar suksesnya pemilu 2004.KPU juga menggunakan pers dalam melakukan sosialisasi pemilu, selain juga pers dimanfaatkan oleh peserta pemilu. Sebagian politisi mampu memaksa media massauntuk menjadikan mereka berita headline. Amien Rais masuk ke pasar, naik kereta api, ikut berdesak-desakanan merupakan terobosan baru dalam berkampanye yang mau tak mau harus menjadai berita besar. Gebrakan SBY dengan melawan Megawati juga menjadi berita besar yang memaksa pers harus menulis dan menyiarkan.Berita memang berbeda dengan iklan, karena berita memberikan gambaran yang jelas dan lebih menarik disimak.Maka dari itu, kendati biaya kampanye Megawati lebih besar, namun popularitasnya tidak sebaik SBY.  Ini terjadi karena SBY lebih mengandalkan berita yang gratis daripada Megawati mengandalkan iklan dan minim pemberitaan.
C.    Pelaksanaan Pemilu yang Luberjurdil
1.      Pengertian Luberjurdil
Pemilu yang luberjurdil mengandung pengertian bahwa pemilihan umum harus diselenggarakan secara demokratis dan transparan, berdasarkan pada asas-asas pemilihan yang bersifat langsung, umum, bebas, dan rahasia, serta jujur dan adil.
a)      Langsungberarti rakyat pemilih mempunyai hak untuk secara langsung memberikan suaranya sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara.
b)      Umumberarti pada dasarnya semua warganegara yang memenuhi persyaratan minimal dalam usia, yaitu sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau telah/ pernah kawin berhak ikut memilih dalam pemilu. Warganegara yang sudah berumur 21 (dua puluh satu) tahun berhak dipilih. Jadi, pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara yang telah memenuhi persyaratan tertentu tanpa diskriminasi (pengecualian) berdasar acuan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, dan status sosial.
c)      Bebas berarti setiap warganegara yangberhak memilih bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun. Didalam melaksanakan haknya, setiap warganegara dijamin keamanannya, sehingga dpat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani dan kepentingannya.
d)     Rahasia berarti dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pemilihnya tidak akan diketahui oleh pihak manapun dan dengan jalan apapun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara yang tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada suaranya diberikan. Asas rahasia ini tidak berlaku lagi bagi pemilih yang telah keluar dari tempat pemungutan suara dan secara bersedia mengungkapkan pilihannya kepada pihak manapun.
e)      Jujur berarti dalam menyelenggarakan pemilihan umum, penyelenggaraan atau pelaksana, pemerintah dan partai politik serta pemilu, pengawas dan pemantau pemilu, termasuk pemilih, serta semua pihak yang terlibat secara tidak langsung, haris bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
f)       Adil berarti dalam menyelenggarakan pemilu, setiap pemilih dan partai politik peserta pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak manapun.
Pemilihan umum yang luberjurdil dibutuhkan semua pihak, baik itu pemerintah, partai politik, masyarakat, serta kalangan internasional.Hal ini berarti pemilihan umum berfungsi sebagai sarana untuk melakukan pengertian pemerintahan secara wajar dan damai. Keabsahan pemerintah dan pergantian pemerintah secara wajar dan damai hanya dapat dijamin jika hasil Pemilu dapat diterima dan dihormati oleh pihak yang menang maupun pihak yang kalah, serta rakyat dan dunia internasional pada umumnya.
2.      Mewujudkan Pemilu yang Luberjurdil
Untuk mewujudkan pemilu yang luberjurdil, dibutuhkan beberapa persyaratan, diantaranya adalah :
a)      Peraturan perundangan yang mengatur pemilu harus tidak membuka peluang bagi terjadinya tindak kecurangan maupun menguntungkan satu atau pihak tertentu.
b)      Peraturan pelaksanaan pemilu yang memuat petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan pemilu harus tidak membuka peluang bagi terjadinya tindak kecurangan maupun menguntungkan satu atau beberapa pihak tertentu.
c)      Badan atau lembaga penyelenggara pemilu harus bersifat mandiri dan independen, bebas dari campur tangan pemerintah dan/ atau partai politik, peserta pemilu baik dalam hal kebijakan maupun operasionalnya, serta terdiri dari tokoh-tokoh yang kredibilitasnya tidak diragukan.
d)     Panitia pemilu di tingkat nasional maupun daerah harus bersifat mandiri dan independen, bebas dari campur tangan pemerintah dan/ atau partai, politik peserta pemilu baik dalam hal kebijakan maupun operasionalnya, serta terdiri dari tokoh-tokoh yang kredibilitasnya tidak diragukan. Keterlibatan aparat pemerintahan dalam kepanitiaan pemilu sebatas pada dukungan teknis operasional dan hanya bersifat administratif.
e)      Partai politik peserta pemilu memiliki kesiapan yang memadai untuk terlibat dalam penyelenggaraan pemilu, khususnya yang berkaitan dengan kepanitiaan pemilu serta kemampuan mempersiapkan saksi-saksi di tempat-tempat pemungutan suara.
f)       Lembaga atau organisasi atau jaringan pemantauan pemilu harus terlibat aktif dalam setiap proses dan tahapan pemilu disemua tingkatan diseluruh wilayah  pemilihan untuk memantau perkembangan penyelenggaraan pemilu.
g)      Anggota masyarakat luas baik secara perseorangan dan kelompok, maupun berhimpun dalam organisasi-organisasi kemasyarakatan harus katif dalam memantau setiap perkembangan penyelenggaraan pemilu di daerah masing-masing.
h)      Insan pers dan media massa harus memberikan perhatian secara khusus pada setiap perkembangan penyelenggaraan pemilu, supaya setiap perkembangan yang ada dapat diberitakan kepada anggota masyarakat luas.
i)        Memupuk kesadaran politik setiap warganegara supaya semakin sedar akan hak politiknya dalam pemilu dan semakin memiliki kematangan dan kedewasaan politik sehingga tidak mudah untuk dipaksa, diancam, dibeli, maupun dipengaruhi dengan cara-cara yang tidak wajar untuk memilih, atau berbuat kecurangan yang menguntungkan pihak-pihak tertentu.
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
       Dari uraian yang penulis paparkan pada bab sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa Indonesia telah melakukan berbagai eksperimen politik sejak masa kemerdekaan hingga saat ini, salah satunya adalah pemilu pada tahun 2004.
1.      Pelaksanaan Pemilu 2004
            Pemilupada tahun 2004 merupakan pemilu yang berada pada saat pers bebas. Pemilu tahun 2004 juga merupakan pemilu pertama rakyat Indonesia memilih presidennya secara langsung.
            Sistem pemilu yang digunakan adalah Proporsional dengan Daftar Calon Terbuka.Untuk memilih anggota parlemen, digunakan sistem pemilu Proporsional dengan varian Proporsional Daftar (terbuka).Untuk memilih anggota DPD, digunakan sistem pemilu Lainnya, yaitu Single Non Transverable Vote (SNTV).Sementara untuk memilih presiden, digunakan sistem pemilihan Mayoritas/Pluralitas dengan varian Two Round System (Sistem Dua Putaran).
2.      Kondisi Politik Pemilu Tahun 2004
            Pemilu tahun 2004 dijuluki sebagai pemilu yang kekanak-kanakan, karena calon presidennya yang memang bersifat demikian. Taufik Kiemas merupakan salah satu orang yang menyebut calon presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai politisi yang kekanak-kanakan. Hal ini dikarenakan SBY sering mengadu kepada pers ketika tak diacuhkan Megawati.
            Popularitas juga mempengaruhi politik pemilu tahun 2004. Semua isu dan berbagai cara digunakan untuk dapat lebih popular di Indonesia. Siapa yang tidak mengenal Wiranto, Megawati, Amies Rais, SBY, dan Hamzah Has.Mereka berkampanye untuk lebih mempopulerkan eksistensinya meraih simpati bahkan menimbulkan fanatisme.
3.      Pelaksanaan Pemilu yang Luberjurdil
            Pemilu yang luberjurdil mengandung pengertian bahwa pemilihan umum harus diselenggarakan secara demokratis dan transparan, berdasarkan pada asas-asas pemilihan yang bersifat langsung, umum, bebas, dan rahasia, serta jujur dan adil.Agar terwujud pemilu yang luberjurdil maka KPU harus menegakkan peraturan dan persyaratan ketika pelaksanaan pemilu, terutama pada panitia dan pengawas dan pemilu (panwaslu).  Dengan demikian maka pemilu akan terlaksana sesuai dengan asas-asas luberjurdil dan berjalan secara deomokratis serta transparan.
B.     Saran
1.      Untuk para Politisi
Untuk para politisi seperti para calon presiden sebaiknya mampu bersifat dewasa ketika menghadapi pemilihan umum. Diperlukan seseorang yang benar-benar mampu untuk membawa masa depan Indonesia. Jadi, para capres juga harus mampu bersaing sehat ketika memperebutkan posisi penting, sebagai pemimpin bangsa.
2.      Untuk Masyarakat
Bagi masyarakat yang memilih sebaiknya menggunakan hak pilihnya dengan sebaik-baiknya. Artinya harus memilih sesuai dengan hati nurani masing-masing dan tanpa ada paksaan atau ancaman dari pihak manapun agar terwujud pemilu yang luberjurdil.










DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku :
Amin, Muhammad M. 2007. Dilema Demokrasi Ketika Pesta Rakyat Bukan Untuk Rakyat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gatara, Sahid. Ilmu Politik: Memahami dan Menerapkan. 2009. Bandung : Pustaka Setia.
Ismanto, I. 2004. Pemilihan Presiden Secara Langsung 2004:Dokumentasi, Analisis, dan Kritik. Jakarta: Galangpress Group
Purwasito, Andrik. 2011. Pengantar Studi Politik. Surakarta: UNS Press.
Sukarna. 1990. Pembangunan Politik. Bandung: Mandar Maju.
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
.
Sumber Internet:
Gerakan Sarjana Jakarta. 1999. Panduan Untuk Pemantauan Pemilihan Umum. http://gsj.tripod.com/pantau1.htm. (diakses 3 April 2014 pukul 16.00)



[1] Vedi R Hadiz, Dinamika Kekuasaan, Ekonomi Politik Indonesia Pasca Soeharto, LP3ES,2005.
[2] Sahid Gatara. Ilmu Politik: Memahami dan Menerapkan.2009.Bandung : Pustaka Setia. hlm.234
[3]Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pasal 46, 47 dan 48.
[4]Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.Pasal 49.
[5]Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pasal 50.