Cinta Takkan Kemana
|
“Teeet....teeett....”,
terdengar suara seseorang memencet bel dari luar rumahku. Aku sudah tau, pasti
Diaz. Ya, karena dia sudah janji akan mengajakku nonton film. Aku sudah
menunggunya dari tadi, aku juga sudah tidak sabar bertemu dengannya, aku juga
sudah memakai gaun yang baru saja kubeli kemarin. Aku memang suka tampil perfect, apalagi kalau mau ketemu pacar.
Ak pun bergegas menuju depan rumahku, seperti yang kuduga, Diaz duduk di kursi
panjang yang ada di terasku di hadapannya sudah terdapat satu gelas orange jus. Siapa lagi kalo bukan bik
Ijah yang menyiapkannya. Memang sudah menjadi kebiasaan bik Ijah menyiapkan
minuman jika kekasihku datang. Hampir setiap hari Diaz ke rumahku, meski hanya
sekedar menjemput atau mengantarku kuliah. Sekitar 15 menit Diaz menunggu di
teras, dia tidak pernah marah karena dia sudah hafal dengan kebiasaanku yang
lama berdandan. Ya, tapi itulah hal yang paling kusuka, dulu ia pernah kesal
karena menungguku terlalu lama, tapi lama-kelamaan ia mulai terbiasa, hingga
akhirnya ia bosan untuk marah-marah.
“Kamu
kelihatan cantik sekali hari ini sayang”,Diaz mulai gombal. ”Memang kemarin-kemarin aku tidak cantik?”, jawabku sinis
tapi hanya kumaksudkan untuk bercanda.“Bukan seperti itu maksutku beb, kamu selalu terlihat cantik setiap
hari, meskipun kamu tidak dipoles dengan taburan make-up. Tapi hari ini kau terlihat paling cantik dari hari-hari
sebelumnya, kau begitu mempesona sayangku”, Diaz melanjutkan bualannya. Tetapi
semua yang dikatakan Diaz memang benar, hari ini aku merasa lebih pede dari hari-hari sebelumnya. Hari ini aku tampil
dengan gaun pink cerah bermotif, memakai tas kulit warna hitam dilengkapi
sepatu kulit asli Italia yang berwarna hitam pula. Tak ketinggalan anting yang
terliahat biasa namun sebenarnya berlian murni oleh-oleh papaku dari Canbera.
“Ah sudahlah, suda cukup kau memujiku, kita sudah berlama-lama disini, nanti
filmnya keburu kelar. Yuk kita berangkat sayang”, ajakku sambil menggandeng
tangannya yang kekar.
Di Kampus
Keesokan
harinya aku berangkat ke kampus sendirian tanpa dijemput Diaz, karena aku lagi
pengen nyetir mobil sendiri. Seperti biasa, teman-temanku sudah menunggu di
lobi kampus. Karin, Jill, dan Flo, itulah nama teman-temanku. Kami berempat
sudah seperti saudara, aku mengenal Jill dan Flo sejak SMA sedangkan Karin
adalah teman kecilku, aku sangat sayang pada mereka, tak jarang kita saling
menginap dan curhat satu sama lain. Sepertinya sih tak ada hal yang kami
sembunyikan, tetapi untuk Flo, aku tidak yakin dia tidak menyembunyikan
sesuatu. Kami pun bergegas menuju kantin, karena jam kuliah masih 1 jam lagi.
“Hai guys, gue kangen banget gak
ketemu kalian selama seminggu”, ucap Flo memecah keheningan. “Lagian sih lo Flo
pergi ke Singapura gak ngajak-ngajak, kita-kita juga pengen kali liburan ke
luar negeri”, jawab Karin sambil menguyah nasi. “Bener tuh apa yang dikatain
Karin, gue juga pengen shopping ke
luar negeri”, Jill mulai membumbui. Kalo aku sih diem aja, aku udah sering
diajak papaku ke luar negeri. “Ah, sudah-sudah...kalian ini pagi-pagi udah
ribut, oke deh, sorry gak bisa ngajak
kalian, tapi lain kali gue bakalan minta izin sama bokap gue buat ajak kalian
jalan-jalan ke luar negeri”, sanggah Flo sambil merangkul mereka berdua.
Sebenenarnya aku agak tidak suka dengan sikap Flo yang suka pamer dan
sepertinya ia tidak mau kalah denganku. “Eh, 15 menit lagi dosen dateng nih,
kelas yuk”, ajakku buru-buru karena aku tidak tahan dengan sikap Flo.
Tapi
kayaknya hari ini dosen gak dateng, karena kita udah nunggu setengah jam tapi
dosennya belum kelihatan juga. Tak lama kemudian asdos dateng buat ngasih
tugas, “Hari ini Pak Smith tidak datang, beliau ada tugas di Johor, Malaysia
jadi ada tugas untuk kalian dan harus dikumpulkan sebelum jam 12.00”. “Wah,
beneran gak tuh, jam 12.00 kan tinggal 45 menit lagi, ah gila tu dosen”,
sanggah Karin dengan kerasnya. Karin memang seperti itu, dia suka ceplas ceplos kalau bicara. “Sudah,
kerjakan saja apa yang ditugaskan Pak Smith, tidak usah banyak protes, kalau
kalian tenang pasti kalian bisa selesaikan semua tugasnya”, perintah asdos
seenaknya. Apa boleh buat tugas statistika pun aku kerjakan meskipun satu kelas
udah protes.
Dari pagi
kuliah sampe sekarang aku belum lihat diaz, emang sih kelas ku jauh dengan
kelasnya tapi tak biasanya seperti ini. Biasanya aku bertemu mekipun itu hanya
berpapasan. Dan anehnya sekarang Flo juga mendadak menghilang. “Dee, Flo kemana
sih, tadi pamitnya ke kamar mandi tapi kok lama banget gak balik-balik”, tanya
Jill kesal karena udah setengah jam menunggu. “Gak tau, emang nyebelin tu anak,
dikira kita gak ada kerjaan aja suruh nungguin dia”, jawabku menggerutu.
“Mendingan kita cari aja yuk, daripada kita mati penasaran disini, kan gak
lucu”, ajak Karin sambil mengajak kita berdua jalan menuju taman samping
Fakultas kami. Aku pun menanyakan keberadaan Flo kepada salah satu temanku,
“Eh, kamu lihat Flo nggak ?”. “ Flo.. kalau gak salah tadi dia lagi duduk di
dekat danau taman fakultas lagi ngobrol sama cowok, kayaknya sih kakak
tingkat”. Aku pun mulai menduga-duga, apa kakak tingkat yang dimaksud temanku
itu Diaz pacarku, karena dia juga belum kelihatan seharian ini dan kabarnya
dulu mereka pernah pacaran. Tapi apa mungkin Diaz tega menyakitiku. “Hei...Dee
ngapain sih, kok bengong, mikirin apa ?”, tanya Karin mengagetkanku. “Enggak kok, yaudah yuk kita susul Flo”, ajakku sambil
merasa sedikti cemas. Kurang lebih 100 meter dari danau aku berhenti karena
melihat jaket Diaz berada di kursi pinggir danau. Aku tau jaket itu milik Diaz
karena jaket itu pemberianku dan itu limited
edition. Jill dan Karin gak sadar kalo aku berhenti, mereka tetap berjalan
menuju danau, dan mereka sangat terkejut melihat Flo dan Diaz sedang duduk
berdua menghadap ke danau dengan kepala Flo bersandar di pundak Diaz.
“Diaz...Flo...!!??, apa yang kalian lakuin disini, lo udah gila Flo,
tega-teganya sakitin Dee, Diaz kan cowoknya Dee dan lo juga sangat tau itu”,
cetus Karin dengan muka marah udah kaya macan mau nerkam mangsanya. “ Loh..
Ka..rinn, Jill...kok kalian disini?”, jawab Flo dengan muka pucat dan terbata-bata.
“Harusnya kita yang nanya, bukan lo, penghianat ! Ngapain lo disini?”, bentak
Jill dengan nada setinggi-tingginya. Baru kali ini aku lihat Jill marah-marah
sampai seperti itu padahal Jill orangnya sangat lembut dan kalem. Diaz menatap
ke arah ku dan berteriak memanggilku “Dee....”.
Aku pun pergi dan lari menuju parkiran, aku
pun pulang dan aku nyetir mobil sekencang-kencangnya, 180 m/jam, itulah
kecepatan mobil yang kukendarai waktu itu. Aku gak peduli dengan Diaz yang
mengejarku. Sementara Diaz mengejarku Jill dan Karin masih di danau bersama
Flo, mereka berdua menyidang Flo dan memaksanya agar menjelaskan
sejujur-jujurnya apa yang telah terjadi. Namun Flo hanya diam dan ia malah lari
dari mereka berdua. Jill dan Karin kesal tapi apa boleh buat mereka pun ikut
pulang.
Di Rumahku
Sesampainya
di rumah aku langsung menuju kamar, aku tak peduli dengan bik Ijah yang udah
nyiapin jus strawberry untukku. Aku mengurung diri di kamar, aku cuma bisa
nangis dan kesal dengan Flo dan Diaz, kok bisa mereka lakuin itu padaku,
memangnya aku salah apa sama mereka berdua. Tak lama kemudian bik Ijah mengetuk
pintu kamarku, “Non, ada mas Diaz di luar nungguin Non”. “Bilang aja Dee gak
mau ketemu”, jawabku singkat. “Baik Non”, bik Ijah memang selalu nurut dengan
kata-kataku karena dia takut kalau aku mengamuk. “Maaf mas, Non Dee nya tidak
mau bertemu dengan mas Diaz”, ucap bik Ijah dengan lirih. “Tapi bik, aku ingin
ketemu Dee, ada yang harus aku jelasin ke dia, aku mohon bik”, pinta Diaz
dengan muka melas. Bik Ijah tidak berani menajawab, ia pun pergi ke dapur. Tapi
Diaz nekat mengetuk kamarku, “Dee...sayang...keluar dong, aku bisa jelasin
semuanya, ini gak seperti yang kamu lihat, please,
jangan buat aku kaya gini”, rintih Diaz di depan kamarku. “Diem lo penghianat !
Dasar brengsek, playboy cap kecoak lo ! Gue gak mau liat muka lo lagi ! Pergii
lo dari rumah gue !!!!!!”, jawabku dengan kasar dan marah. “ Tapiii....”.
“Sudah gak ada yang perlu dijelasin lagi, pergi lo brengsek !”, selaku. Diaz
pun pergi dan aku masih mengurung diri di kamar.
Sampai esok
hari aku pun masih di kamar, aku tak sedikitpun beranjak dari kasurku yang
empuk dan aku pun masih mengenakan baju yang aku pakai kuliah kemarin. Lebih
dari 10 kali bik Ijah mengajakku keluar untuk makan tapi aku tak menghiraukannya,
papa mama ku sedang ada tugas di luar negeri. Mereka memang orang sibuk tapi
setiap akhir bulan mereka selalu meluangkan waktu untukku, kita selalu
jalan-jalan atau hanya sekedar ngobrol di rumah, paling lama seminggu.
Di Kampus, esok hari
“Karin, Dee
kok gak keliatan sih ? “, tanya Jill penasaran. “Gak salah lagi nih ini pasti
gara-gara kemarin, gara-gara dia tuh”, jawab Karin sambil menunjuk muka Flo
yang baru datang di depan pintu. Satu kelas kaget karena saura Karin yang
lantang dan semua ikut menatap keheranan ke arah Flo. Karin bener-bener marah
sama Flo,bahkan ia sempat ingin menampar Flo tapi dosen keburu datang dan Karin
mengurungkan niatnya. Usai kuliah Diaz datang ke kelasku dan menanyakan
keberadaanku kepada Jill, “Aku mau ketemu Dee, ada ?”. “Dee gak masuk hari
ini”, jawab Jill singkat. Saat itu Karin
gak ada jadi Diaz aman, gak kena semprotannya. Diaz pun pergi karena sebenarnya
Diaz udah nebak kalo Dee pasti gak berangkat, karena ia sudah hafal dengan
sikap kekasihnya itu. Diaz hanya ingin memastikan saja.
Di Kafe, malam hari
Seperti
biasa, kalo aku lagi kalut, lagi galau dan lagi ada masalah aku pasti nongkrong
di kafe cinta, duduk di sit paling
ujung dekat kolam dan out door agar
aku bisa menatap indahnya langit malam sambil merenungi masalah-masalah yang
kuhadapi. Arlojiku menunjukkan pukul 19.05, aku sudah satu jam lebih lima menit
berada di kafe ini, tapi es krim coklat dengan ekstra tiramizu yang kupesan
tadi belum kunjung habis, bahkan sekarang sudah menjadi air karena sedari tadi
aku hanya mengaduk-aduk sampai lumer. Aku melihat ada seorang wanita berambut
sebahu yang sedang duduk di bangku depan, dia sendirian dan kelihatannya dia
juga sedang ada banyak masalah seperti aku, wajahnya terlihat sayu dan tatapan
matanya kosong. Aku penasaran ingin menghampirinya, tapi setelah dekat aku baru
sadar kalau ternyata dia itu Flo,sahabat yang sudah tega menghianatiku. Kalau
dari tadi aku tahu itu Flo aku gak akan menghampirinya, tapi apa boleh buat Flo
terlanjur menyadari kalau aku ada di dekatnya. Dia pun memanggilku tapi aku
berusaha menghindar, dan pergi meninggalkannya, tapi Flo menarik tanganku dan
mengajaknya duduk di bangku bersamanya. Aku terpaksa duduk dengannya, tapi tak
sedikitpun aku menatap wajahnya, aku tak sudi
melihat wajah penghianat. “Dee, aku mau...”, ucap Flo memecah keheningan.
“Mau apa, penghianat !”, jawabku ketus dan kesal. “Dee, kumohon jangan seperti
itu, aku bisa jelasin semuanya, please
beri aku kesempatan”, pinta Flo dengan muka memelas. Dengan enaknya aku
menjawab, “Apalagi sih yang mau lo jelasin Flo, belum cukup lo udah buat gue
sedih ?”. “Tapi Dee, aku melakukan itu karena ada alasannya, ada tumor di
otakku dan itu sudah stadium akut, kata dokter usiaku tinggal 3 bulan lagi”,
jelas Flo sambil menangis. Mendengar itu semua aku pun ikut meneteskan air
mata. “Flo, lo beneran lagi sakit parah, kayaknya lo sehat-sehat aja waktu di
kampus”, tanyaku keheranan. “Bener Dee, gue gak mungkin bohong soal penyakit,
setiap hari aku minum obat penahan rasa sakit dan aku meminumnya 12 kapsul per
hari, lo bisa bayangin kan betapa menderitanya mulut gue harus nelan
kapsul-kapsul segede peluru itu, tapi aku tetep minum semua itu agar aku gak
terlihat sakit ketika di luar rumah”, Flo menjelaskan panjang lebar bahkan dikali
tinggi terus dikalikan dua. “Tapi Flo kenapa lo gak ceritain semua ini sama
gue, Karin dan Jill, kita kan udah janji saling terbuka satu sama lain”, ucapku
lirih sambil mengusap air mataku yang sedari tadi mengalir deras di pipiku.
“Gue gak ingin nyusahin kalian, aku gak ingin kelihatan lemah di depan kalian”,
jelas Flo dengan suara lirih pula. “Terus kenapa lo harus deketin Diaz, lo kan
tau gue udah pacaran sama Diaz hampir 2 tahun, lo tega nyakitin gue”, sanggahku
heran. “Gue tahu Dee, tapi dulu waktu SMP aku pernah pacaran sama Diaz selama
setahun, dia cinta pertama gue dan sampai sekarang aku masih sangat
mencintainya, aku emang udah relain dia buat lo Dee, karena gue tau Diaz lebih
bahagia kalo sama lo. Tapi setelah dokter bilang kalo umur gue tinggal tiga
bulan lagi aku pengen hari-hari terakhirku bahagia dengan orang yang paling aku
cintai, lo tau nyokap gue udah meninggal sejak gue lahir, dan bokap gue selalu
sibuk dengan bisnisnya, bahkan dia gak tahu kalo anaknya udah mau mati” jelas
Flo lebih panjang dan tentunya lebih lebar dari yang tadi, sekarang malah
dikalikan empat. Suasana hening sejenak, aku diam Flo juga diam, hanya
terdengar suara isakan tangis diantara kita berdua. Aku menghisap nafas
dalam-dalam lalu berkata lirih, “Flo, gue rela lo pacaran lagi sama Diaz dan
gue juga bakal bantu lo agar cepet balikan lagi sama Diaz, gue akan putusin
Diaz dan nyuruh dia nembak lo”. Wajah Flo tampak lega dan mulai menebarkan
senyum di bibir mungilnya, ia pun menjawab “Lo yakin dengan kata-kata lo Dee,
gue gak nyangka lo bakalan sebaik ini sama gue, lo bener-bener my best friend”. “Sangat yakin Flo, gue
ga bakalan seneng-seneng di atas penderitaan lo”, jawabku sambil memeluk Flo.
Andai aja Flo tahu hatiku terasa seperti
teriris pisau abis itu tertusuk duri terus digiling pakai papan penggilesan
abis itu direbus dan menguap tanpa sisa. Gak bakal terbayang deh sakitnya sama
apa, tapi demi sahabat aku rela lakuin apa aja asalkan dia bahagia. Gue gak
peduli betapa hancurnya perasaanku. “Tapi Dee, aku masih ada dua permintaan
lagi boleh ?”, tanya Flo sambil melepas pelukanku. “Tentu saja boleh Flo, apa
yang lo pengen ?” “Gue pengen lo janji gak akan ceritain semua ini ke
siapa-siapa terutama ke Diaz” “Tapi Flo...” Belum selesai aku bicara Flo udah
memotongnya, “Gue mohon Dee”, pintanya dengan memohon melas kepadaku. Apa boleh
buat aku pun menyetujui permintaannya, “Oke Flo, lalu apa keiinginan lo yang
kedua ?”. “Yang kedua gue pengen nikah sama Dia di hari terakhir hidup gue”,
kata Flo dengan penuh harap. “Nikah ?, Flo lo kan belum tentu pergi di hari
itu, siapa tahu lo masih bakalan hidup setaun, dua taun ato bahkan
bertahun-tahun lagi. Usia seseorang kan cuma Tuhan yang tahu. Lo gak boleh gitu
Flo, lo kan masih bisa kemo”, jawabku berusaha menguatkan Flo. “Gue udah kemo
Flo, tapi dokter bilang kemo yang gue lakuin Cuma bisa nguatin gue sampe 3
bulan lagi, gue akan drop berat sekita tanggal 17-20 April tahun ini, 3 bulan
lagi kan. Gue udah telat berobat Flo, kata dokter kalo aja sejak kecil gue udah
dibawa ke dokter mungkin penyakit ini masih bisa diangkat dari tubuh gue, tapi
lo juga tau kan kalo gak ada yang peduli sama gue. Gue aja baru periksa awal
kuliah semester 3 kemarin, 6 bulan yang lalu lah”, sanggah Flo dengan alasan
yang akhirnya membuatku ingin menuruti semua keinginan terakhrinya. “Oke Flo,
gue janji bakal bantuin lo wujudin semua itu, gue janji”, jawab ku dengan
meyakinkan Flo sambil mengaitkan jari kelingking dantara kami.
Tidak sadar
kami ngobrol ternyata arloji perakku menunjukkan pukul 21.15, kami pun bergegas
pulang, tak lupa aku mengantarkan Flo ke rumahnya, karena tadi Flo datang ke
kafe naik taksi, tak mungkin aku membiarkan sahabatku pulang sendirian
malam-malam, lagi pula rumah kita searah.
Di Rumah Diaz, Lusa
Sekitar jam
4 sore aku bergegas ke rumah Diaz, sesampainya di sana aku melihatnya sedang
bermain gitar sambil menyanyikan lagu kenangan kita berdua, aku sempat terpana
dan hampir saja melupakan niat kedatanganku menemui Diaz. Aku pun tersadar dari
lamunanku dan segera menghampiri Diaz. Belum aku menyapa, Diaz sudah
mendahuluiku, wajahnya tampak cerah melihatku, maklum sejak insiden di danau
aku tidak ada komunikasi dengan Diaz. “Dee, sayang, akhirnya kamu mau
menemuiku, aku kangen banget sama kamu, bidadari hatiku, aku kangen membelai
rambut lurusmu yang panjang nan lembut, aku kangen jalan bareng sama kamu, aku
kangen saat-saat kita berdua dan bernyanyi bersama. I miss you so much beby”, Diaz mulai membual. Kekasihku ini memang
sangat suka gombal, entah apa yang dikatakannya itu benar atau tidak tapi
sepertinya benar, karena tak bisa dipungkiri aku selalu terpukau mendengar
semua pujiannya, tak kecuali saat ini. Hanya bedanya saat ini aku ingin
terlihat cuek dan seolah acuh dengan semua pekataannya. “Cukup, diam lo
penghianat ! Gue kesini bukan buat baikin lo, tapi gue mau putus sama lo. Gue
pengen lo jadian sama Flo dan lupain gue, kalo perlu lo nikahin dia !”, jawabku
tegas dengan tatapan serius meskipun hatiku menjerit keras melebihi harimau
yang sedang menekam mangsanya. Diaz diam menatapku penuh tanya, dia bingung,
dan akhirnya dia mulai angkat bicara, “Dee... lo udah gila nyuruh gue lakuin
semua itu, Flo itu udah jadi masa lalu gue dan gue udah gak cinta lagi sama
dia, jadi gak mungkin gue mau pacaran lagi sama dia”. “Tapi saat ini keadaannya
beda, sekarang Flo lagi... “, hampir aja aku kecplosan. “Flo kenapa ?”, tanya
Diaz. “ Flo sangat mencintai lo melebihi gue dan gue gak ingin hancurin
persahabatan antara gue dan Flo yang udah kita jalin sejak SMA, kasihan tidak
ada orang yang peduliin dia selain kita. Gue mohon turutin permintaan gue, kalo
perlu gue bakalan sujud sama lo sekarang”, pintaku dengan penuh harap Diaz akan
mengabulkan permintaanku. “Tapi Dee, kenapa mesti gue, gue sangat cinta sama
lo,dan gue juga tau lo cinta sama gue. Emangnya lo mau menderita demi Flo ? gue
gak ngerti sama jalan fikiran lo Flo”, jawab Diaz bingung. “Asal lo tau Di, gue
gak pernah menderita selama gue melihat sahabat gue bahagia. Dan lo Di, lo
cinta kan sama gue, harusnya lo mau lakuin apa aja buat nyenengin permintaan
cewek lo, meskipun lo harus ninggalin cewek lo, lo mau kan berkorban demi gue
Di, gue mohon, please...ato gue sujud di depan lo sekarang”, ucapku kembali
memohon kepada Diaz sambil membungkukkan badanku yang hendak sujud di depan
Diaz. Tapi Diaz menahanku dan ia akhirnya menuruti semua permintaanku, “Dee, lo
gak boleh gitu, oke gue bakal turutin apa mau lo, gue bakalan nembak Flo besok,
dan gue lakuin itu demi lo Dee.
Tapi gue
juga punya satu permintaan sama lo Dee”. Aku lega mendengar semua itu meskipun
ironi dengan hatiku, “Apa yang lo pengen Di ?”. Gue pengen meluk lo buat yang
terakhir kalinya, boleh kan ?”, pintanya dengan air mata di pelupuk matanya.
Aku tak kuasa menjawabnya karena sejujurnya aku juga pengen hal itu, aku hanya
bisa mengangguk. Diaz memelukku erat dan aku bisa merasakan air matanya menetes
di bahuku. Aku ikut menangis, tapi kusembunyikan dari Diaz. Usai dari rumah
Diaz aku langsung menuju Kafe Cinta untuk menenangkan pikiranku. Saat itu aku
juga menelpon Flo kalo gue udah lakuin semua yang dia pengen.
Di Taman Fakultas, esok hari
Hari itu
aku memang sengaja berangkat pagi untuk bicara dengan Jill dan Karin, karena
semenjak insiden danau aku belum bertemu dengan mereka, rasanya kangen juga.
Kita bertiga duduk di kursi taman. Sepeti biasa Karin mulai mengintrogasiku,
“Dee, kemana aja sih lo, kita kangen banget sama lo, kita juga khawatir kalo lo
kenapa-kenapa. Mana gak bisa dihubungin, didatengin ke rumah gak mau ditemuin,
bikin gue mati kepo aja”. Karin
orangnya memang kepo inginnya segera
tahu saja. “Udah lo ngomelnya ?”, tanyaku sambil bercanda. Jill hanya tersenyum
simpul. “Ah lo Dee emang suka bikin gue tambah kepo”, tambah Karin makin penasaran. Aku menarik nafas panjang,
“Iya deh, maaf ya Karin, maaf juga Jill gue udah buat kalian khawatir, gue cuma
pengen nenangin diri aja kok, gue gak kenapa-kenapa”. Aku berusaha meyakinkan
mereka. “Yakin lo gak kenapa-kenapa Dee, terus soal Flo sama Dia gimana ?”,
ujar Jill sambil berjalan kearah danau. Aku pun ikut berdiri begitu juga Karin.
“Kita semua baik-baik saja guys,
paling bentar lagi Flo bakal jadian sama Diaz, dulu kan mereka juga pernah
pacaran”, jawabku santai sambil melempar batu ke danau. “Lo gak lagi mimpi kan
Dee, kesambet apa sih lo ?”, tanya Karin heran sambil mencubit tanganku.
“Auuuww, sakit tau”, jawabku cepat sambil refleks memukul bahu Karin pelan.
“Iya Dee, bener apa kata Karin lo sama Diaz itu udah pasangan paling serasi di
kampus ini, ngapain lo suruh penghianat itu rebut cowok lo ?”, tanya Jill
dengan wajah makin kebingungan serasa lagi kesasar di hutan. “Kayaknya lo udah
bener-bene gila deh Dee, ato gue yang mimpi kali ya”, ujar Karin sambil
menampar pipinya. “Aduuhh,, ternyata ini beneran, gue gak mimpi, berarti lo
yang gila Dee”, ujar Karin kesakitan. Aku dan Jill tertawa geli melihat tingkah
lucu Karin. Akhirnya aku pun menjelaskan meskpun bukan yang sebenarnya asalkan
mampu untuk menenangkan mereka, “Gini ya temen-temenku yang pada kepo, Flo itu gak seburuk yang kalian
fikir Flo ada alasan kenapa dia lakuin itu dan kalo kalian ada di posisi Flo
kalian juga pasti akan lakuin itu, percaya deh sama gue. Tapi maaf temen-temen
gue gak bisa kasih tau alasannya karena gue udah janji sama Flo, tapi kalian
pasti akan tau sendiri nanti kalo udah waktunya. Untuk masalah Diaz gue juga
udah lupain, gue rasa gue mau fokus kuliah dulu, gue pengen sendiri dulu gak
usah mikirin cowok, kalian tau kan gue dituntut dapet IP Cumlaude sama orang
tua gue. Jadi kalian ngerti kan sekarang, ntar kita minta maaf sama Flo ya guys”, jelasku udah kaya Pak Uztad lagi
ceramah ditambah gerbong kereta yang panjangnya minta ampun. Sampai kering ni
tenggorokan. Tapi kedua temenku itu malah bengong, tanpa ada satu pun yang
bicara, mereka justru memelukku dan sangat kagum padaku. “Gue gak nyangka Dee,
hati lo udah kaya emas dilapisi berlian, sumpah lo baik banget jadi orang, gue
bangga punya sahabat kaya lo Dee”, Karin pun akhirnya angkat bicara.
“Ooouuuuhhh......I LOVE YOU DEE”,
ujar Jill singkat tapi penuh makna. “Oke guys,
kita kelas yuk, siapa tahu Flo udah nungguin kita”, ajakku sambil melepas
pelukan mereka dan bergegas menuju kelas. Ternyata Flo belum berangkat, lebih
tepatnya Flo gak berangkat hari ini. Aku jadi khawatir sama Flo, jangan-jangan
dia drop di rumah. Maka dari itu aku berinisiatif untuk mengajak Jill dan Karin
ke rumah Flo sepulang kuliah.
Di Rumah Flo
Ternyata
dugaanku benar, Flo memang sakit hari itu , apa mungkin penyakitnya kumat lagi.
Atau dia telat minum obat atau lagi banyak masalah. Ah, seribu pertanyaan
mengahantui pikiranku. Setalah kita masuk ke rumah Flo aku hanya bisa diam
seribu bahasa melihat Flo ada dalam pelukan Diaz. Jill dan Karin sangat paham
posisiku saat itu, mereka hanya bisa menatapku dan berusaha menguatkanku. Diaz juga menatapku, tapi dia memang berusaha acuh,
demi menjaga perasaan Flo, mungkin mereka juga sudah jadian. Dan hari itu Flo
memang sedang sakit, aku dan Jill pulang duluan. Kebetulan saat itu Jill ingin
segera pulang karena akan pergi bersama ibunya, jadi aku gak harus berlama-lama
melihat Flo dan Diaz berduaan. Sejak saat itu kujalani hari-hariku dengan
kehampaan, aku menyibukkan diriku dengan belajar agar aku bisa menghilangkan
rasa sakit di hatiku, meskipun hanya sementara. Hal ini sangat bertolak
belakang dengan kehiupan Flo bersama Diaz, mereka menjalani hari-harinya dengan
kebahagiaan dan kemesraan, meski terkadang Diaz masih melirikku jika kita
bertemu. Tapi aku tetap berusaha menghindar, demi menjaga perasaan sahabatku
Flo.
3 Bulan Kemudian
Tak
disangka, waktu berlalu begitu cepat, hari itu tepat pada tanggal 19 April
2013, hari yang dibilang Flo hari terakhir bisa menghirup nafas di dunia ini.
Tapi siapa sangka keadaan Flo justru membaik dia tampak sehat dan bugar. Aku
senang melihatnya, mungkin usia dia akan lebih lama lagi di dunia meskipun itu
artinya aku harus tetap sakit kehilangan Diaz. Hari itu aku, Jill, Karin, Flo
tak ketinggalan pula Diaz, kita semua nongkrong bareng di Kafe Cinta, kami
ngobrol bareng, terkadang aku dan Diaz saling melirik sembunyi-smebunyi. “Gue
punya kabar gembira buat kalian, pokoknya kalian pasti seneng denger semua
ini”, kata Flo sambil memegang tangan Diaz. Memang sedari tadi kita sampai di
kafe, Flo tidak sedikitpun melepaskan genggaman tangannya kepada Diaz. “Kabar
apa sih Flo, cepetan bilang dong”, jawab Karin penasaran. “Tu kan, Karin mulai kepo, sabar dong, ntar juga Flo pasti
cerita”, kata Jill menenangkan. “Hehe, Karin kan emang suka kepo. Gini lho guys, besok tanggal 20 April gue akan
menikah sama Diaz, kalian dateng ya, ini undangan buat kalian”, jelas Flo
sambil membagikan undangan pada kami bertiga. Saat mendengarkan cerita dari Flo
aku sedang minum, saking kagetnya aku sampai tersedak. “Dee, lo gak papa kan
?”, tanya Diaz dengan sedikit cemas. “Enggak kok, ini es batunya gak sengaja
ketelan, tapi udah enakan kok ini. Oh iya Flo selamat ya, gue seneng banget
denger semua ini”, jawabku sambil menyembunyikan rasa sedihku. Saat itu aku
berusaha kuat mendengar kabar itu. “Iya,
thanks ya Dee, ini semua juga berkat lo, harusnya gue yang berterima kasih sama
lo”, kata Flo sambil memegang tanganku. Saat itu pertama kalinya Flo melepaskan
genggaman tangannnya dari Diaz. Aku hanya membalasnya dengan senyuman, Diaz
juga ikut tersenyum. Jill dan Karin hanya bengong, mungkin menyimpan pertanyaan
di benaknya tapi tidak dilontarkan, bisa jadi tidak ingin merusak kebahagiaan
Flo. Mereka hanya mengucapkan selamat kepada Diaz dan Flo. Gak nyangka udah 3
jam kita di kafe, sekarang kita bergegas pulang, aku pulang mengantarkan Jill
dan Karin, sedangkan Diaz pulang bersama Flo. Di perjalanan Diaz sms aku, dan itu
sms pertama yang ada setelah dia jadian dengan Flo.
Dalam sms
itu Diaz bilang “I love u Dee syg, jauh
di dlm lbuk hatiku anya ada kmu, bkan Flo, sampai skrng ak msh blum bisa
mencintainya”.
Saat
itu aku membalas “Jangan berbicara seperti itu Di, besok adalah hari bahagiamu
bersama Flo, jangan hancurkan perasaan Flo, lo harus janji sama gue bakalan
buat Flo seneng”.Diaz tidak
membalas lagi.
Jakarta
Pusat20 April 2014, di rumah Flo
Hari
itu Flo tampak cantik dengan gaun berwarna putih panjang dan Diaz tampak gagah
dengan jas berwarna hitam metalic, dengan bunga mawar merah merona tersungging
di saku atas kanannya. Jill dan Karin bersamaku , mereka menguatkanku, “Dee, lo
yang kuat ya, lo pasti dapet ganti yang lebih baik”, kata Jill menguatkanku.
“Apa sih lo Jill, gue gak kenapa-kenapa kok, gue seneng lihat Flo bahagia. Kita
masuk yuk, acara udah mau mulai nih”, ajakku sambil menenangkan hati Jill. Kita
pun duduk di kursi yang disediakan. Saat ijab kabul akan berlangsung tiba-tiba
Flo pingsan, semua tampak cemas dan ribut. Ayah Flo juga ikut cemas, karena itu
pertama kalinya ia melihat putri kesayangannya itu pingsan. Aku pun membawakan
minyak kayu putih agar ia cepat sadar. Akhirnya Flo sadar, semua lega dan
pernikahan segera dilangsungkan kembali. Penghulu pun sudah selesai membacakan
ijab kabul. Saat Diaz ingin menjawab ijab kabul, nafas Flo mulai tersedak.
Suasana kembali menegangkan, saat itu Flo berada di pangkuan Diaz. Ayahnya
mengajak Flo ke rumah sakit, tetapi Flo tidak mau. “Ayah, aku ingin jujur sama
ayah, sebenarnya aku sakit tumor otak stadium akhir, aku tidak cerita kepada
ayah karena tidak ingin membebani pikiran ayah”, Flo mulai bicara sambil
menahan rasa sakit. Ayahnya sangat terpukul mendengar semua itu, ia menyesal
selama ini ia jarang di rumah, sampai tidak tahu putri semata wayangnya sedang
sakit parah. “Jill, Karin, kalian adalah sahabat gue yang paling baik, makasih
udah jadi sahabat gue selama ini”, tambah Flo. Jill dan Karin tak kuasa angkat
bicara, mereka hanya menangis sambil memegang jari jemari Flo. “Diaz, makasih
udah jadi pacarku selama tiga bulan ini, lo udah buat hari-hari terakhir gue
bahagia”, kata Flo sambil menatap mata Diaz. “Flo, lo pasti sembuh, jangan
ngomong seperti itu”, jawab Diaz menguatkan. “Dee, lo adalah malaikat buat gue,
lo udah relain Diaz buat gue, gue tau Dee, lo pasti sakit banget, mungkin lebih
sakit dari penyakit gue ini. Gue bener-bener bersyukur punya sahabat kaya lo Dee.
Sekarang gue pengen lo sama Diaz bersatu lagi”, ucap Flo sambil menyatukan
tanganku dengan tangan Diaz. Kita semua termasuk tamu undangan ikut menangis,
aku pun tak bisa bicara apa-apa lagi. Flo menatap Diaz, “Tolong jaga Dee ya,
dia adalah wanita yang sempurna, aku titip Dee sama lo”, itulah kalimat
terakhir yang keluar dari mulutnya. Ayahnya berteriak kencang memanggil nama
Flo. Tapi apa daya, Sang Khaliq sudah membawa Flo ke surga.
Dan
inilah rencana Tuhan, kita tidak akan pernah tau. Diaz akhirnya kembali
kepadaku, dan kelak jika kita menikah dan punya anak, akan memberikan nama Flo
untuk anak kita. Semua itu kulakukan untuk tetap mengenang Flo. Tuhan pasti
memiliki skenario yang lebih indah dari yang diinginkan manusia. Kalo cinta
pasti takkan kemana, pasti kembali kepada pemiliknya.
--TAMAT--
BIODATA SINGKAT
Nama : Nela Ambarwati
TTL : Klaten, 12 Oktober
2013
Fak/jurusan/prodi : KIP/P.IPS/PPKn
Angkatan : 2013
Alamat kos : Kos Pondok Baru 4 atas Jl.
Guntur, Ngasinan, Jebres, Surakarta
No. HP : 081578255517
Hobi : Baca Novel