yang bingung mau buat makalah tentang perilaku politik, ni bisa jadi referensi guys :D
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Perilaku
politik merupakan perilaku yang menampilkan kegiatan pelibatan dan keterlibatan
dalam proses pengambilan keputusan yang dibuat oleh pemerintah[1].Perilaku
politik dapat kita temukan pada aktivis-aktivis politik seperti anggota partai,
parlemen, negarawan, politisi, dan lain sebagainya. Selain itu dapat pula
ditemukan pada setiap individu manusia khususnya warganegara Indonesia, seperti
yang akan penulis bahas dalam makalah ini. Perwujudan perilaku politik
warganegara adalah melalui hak suara dalam pemilihan umum. Perilaku politik
tiap individu berbeda-beda berdasarkan faktor yang mempengaruhinya dan
lingkungan tempat individu itu berada.
Jika
kita amati bersama, perilaku politik warganegara memiliki banyak variasi.
Setiap warganegara memiliki cara tersendiri dalam berperilaku politik. Hal ini
dapat kita lihat pada waktu pemilihan umum. Ada warganegara yang menggunakan
hak pilihnya dengan benar, tetapi ada pula yang tidak atau sering kita sebut
sebagai golongan putih (golput). Golput digunakan untuk merujuk pada fenomena:
orang yang tidak menghadiri tempat pemungutan suara, orang yang datang ke
tempat pemungutan suara tetapi tidak menggunakan hak pilihnya, dan orang yang
menggunakan hak pilihnya namun dengan jalan menusuk bagian putih dari kartu
suara. Bukan tanpa alasan warganegara Indonesia memilih untuk golput. Warganegara
golput bukan berarti mereka tidak peduli terhadap masa depan negara. Mereka
memiliki berbagai pertimbangan, salah satunya karena mereka menganggap bahwa
para calon pemimpin atau calon wakil rakyat tidak berkompeten.Jadi jalan untuk
golput ini diharapkan dapat menjadi koreksi konstruktif terhadap partai
politik, negara, dan realitas hidup.
Melihat
perilaku politik yang demikian ini, penulis tertarik untuk membahas lebih
lanjut mengenai perilaku golput. Penulis akan membahasnya secara rinci hal-hal
apa saja yang mendasari warganegara untuk golput.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1. Bagaimana
awal mula terjadinya golput ?
2. Apa
alasan warganegara untuk berperilaku golput ?
3. Apa
tujuan warganegara yang berperilaku golput ?
C.
TUJUAN
PENULISAN
1. Untuk
menjelaskan awal mula terjadinya perilaku golput.
2. Untuk
menjelaskan alasan warganegara untuk berperilaku golput.
3. Untuk
menjelaskan tujuan warganegara yang berperilaku golput.
D.
MANFAAT
Selain untuk mencapai tujuan, penulis juga memiliki manfaat
yang jelas dari penulisan makalah ini. Adapun manfaat dari makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Secara praktis, makalah ini diharapkan dapat menjadi tambahan
wawasan kepada penulis, masyarakat dan pihak-pihak lain yang membutuhkan,
tentang perilaku politik warganegara Indonesia.
2. Secara teoritis, makalah ini diharapkan mampu menjadikan
inspirasi dalam pembuatan makalah. Setidaknya tulisan ini mampu memberikan
gambaran dan referensi untuk membuat makalah yang lebih baik lagi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Awal
Mula Terjadinya Perilaku Golput
Kata
golput adalah singkatan dari golongan putih. Makna inti dari kata golput adalah
tidak menggunakan hak pilih dalam pemilu dengan berbagai faktor dan alasan.Gatut
Saksono (2013: 49) mengutarakan sejarah munculnya perilaku politik sebagai
berikut:
1.
Golput
pada Masa Sebelum dan Sesudah Orde Baru
Pada
masa sebelum orde baru hanya terdapat satu pemilu yaitu pada tahun 1955. Pemilu
yang pertama itu berlangsung dengan penuh semangat, karena pada waktu itu
semangat proklamasi sangat menggebu-gebu. Tidak terdapat perilaku curang atau
golput pada pemilu pertama ini. Rakyat yang masih memiliki rasa nasionalisme
tinggi benar-benar mencoblos tanda gambar partainya berdasarkan pilihan
ideologinya dengan penuh rasa sadar dan ikhlas. Hasil Pemilu 1955 dengan daftar
pemilih sebanyak 43.104 juta, dengan partisipasi pemilih sebesar 91,41 %.
Mereka yang tidak menggunakan hak pilihnya sebanyak 8,59 %. Hal ini bukan
karena warganegara golput tetapi karena tempat tinggal mereka yang jauh dari
tempat pemungutan suara, banyaknya warganegara yang buta huruf.
Pemilu
pertana Orde Baru berlangsung pada tahun 1971. Mayoritas suara parlemen berada
pada rezim Soeharto. Semua ada pada pengaruh Soeharto, banyak anggota parlemen
yang terpilih tanpa melalui pemilihan. Mereka yang menjadi anggota MPR berasal
dari Orsospol dan golongan fungsional lain. Mereka telah dicuci otaknya. Suara
mereka di sidang MPR tidak boleh berlawanan dengan ideologi pembangunan orba
yang sangat otoriter. Bagi mereka yang menentang akan dipecat. Pada masa pemerintahan
orba mulai muncul perilaku golput, meskipun tidak berumur panjang. Ada dua
kelompok oposisi yang muncul pada era Soeharto yaitu Petisi 50 dan Gerakan
Rakyat Marhaen (GRM). Kedua kelompok ini sebagai pelopor munculnya perilaku
golput. Sehingga pada era orba terdapat peningkatan jumlah golput yang sangat
tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat ketidakpuasan rakyat pada
pemerintahan orba. Soeharto mengingkari janji-janjinya untuk memajukan
perekonomian Indonesia dengan berlandaskan Pancasila.
2.
Golput
pada Masa Reformasi
Menurut
catatan Jaringan Pendidikan Pemilihan untuk Rakyat (JPPR), dari 26 Pemilu
kepala daerah tingkat provinsi yang berlangsung sejak tahun 2005 hingga 2008,
13 Pemilu Gubernur justru dimenangi golongan putih alias golput. Kondisi ini
menular ke DKI Jakarta, jumlah pemilih golput mencapai 39,2 %. Hal ini terjadi
karena sebagian besar warga ibukota meragukan proses pesta demokrasi yang baru
pertama kali dilaksanakan di kota Jakarta. Akan tetapi pada pemilukada 2012
angka golput turun menjadi 37 %. Rupanya pemilukada 2012 sedikit mengubah
perilaku politik warganegara karena sosok Jokowi dipandang sebagai pahlawan
perubahan.
Terdapat
pula daerah-daerah lain yang angka golputnya sangat tinggi seperti di Jawa
Barat, Medan, Jawa Timur, Banyumas, dan lain sebagainya. Meningkatnya angka
golput tidak lagi dapat dibendung meskipun berbagai upaya telah dilakukan,
seperti melalui iklan media massa, via seluler, bahkan fatwa MUI sekalipun.
Karena sebagian dari warganegara sudah mulai terkonsep dalam pemikirannya bahwa
sebagian besar partai politik tidak layak mendapatkan kepercayaan dari suara
rakyat.
Jika
kita cermati bersama, pemilu demokratis hanya terjadi pada pemilu pertama kali
yaitu pada tahun 1955. Setelah itu apalagi di era reformasi ini semakin banyak
ditemukan fenomena golput di masyarakat. Golput memang bukan pilihan yang
paling bijak dan tepat, namun ada kalanya golput harus dilakukan pada situasi
tertentu. Dapat kita bayangkan jika tokoh-tokoh partai yang mencalonkan diri
tidak ada yang berkompeten dan kita harus memilih salah satu. Justru negara
Indonesia akan semakin hancur jika kita telah memilih calon yang salah. Ketika
itulah masyarakat lebih memilih untuk golput. Masyarakat beranggapan bahwa
dengan tidak memilih, calon pemimpin akan menyadari apakah dirinya benar-benar
berkompeten atau tidak.
Sebenarnya
golput dapat diminimalisasi jika kinerja parlemen selalu amanah. Seperti pada
pemilu pertama kali tahun 1955. Semua berlangsung adil dan demokratis. Hampir
seluruh daftar pemilih menggunakan hak suaranya dengan benar. Jika pun ada yang
tidak memilih itu tidak termasuk dalam kategori golput. Akan tetapi terjadi
karena alasan-alasan tertentu yang sangat tidak memungkinkan, seperti yang
sudah dijelaskan di atas.
B.
Alasan
Warganegara Berperilaku Golput
Sebagian
warganegara Indonesia lebih memilih untuk berperilaku golput merupakan bentuk
kekecewaannya terhadap mekanisme politik. Kekecewaan tersebut muncul karena
berbagai alasan seperti:
1. Hilangnya
sosok kekharismaan pemimpin lokal yang hidup bersama rakyat seperti Soekarno.
2. Hilangnya
lembaga pengawal demokrasi yang ideal dari panggung politik.
3. Hilangnya
harapan hidup rakyat akibat tekanan dan ketidakadilan yang telah lama merasuk
dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Hal-hal semacam itulah
yang menyebabkan rakyat menjadi apatis, tidak percaya pada seluruh proses
demokrasi, dan pada akhirnya golput menjadi pilihan yang paling rasional.
Lebih
jelasnya Gatut Saksono (2013: 76) menjelaskan beberapa alasan warganegara
berperilaku golput, sebagai berikut.
1. Sikap
apatis untuk tidak memilih
Warganegara
berpandangan bahwa apapun/siapapun partai politik yang menang tidak ada
perubahan yang signifikan. Lebih baik mereka bekerja untuk menghidupi keluarga.
Warganegara memandang kaum elit politik tidak mengalami perubahan yang jelas.
Hal ini bisa dari masyarakat yang menjadi korban kebijakan politik yang sedang
berkuasa[2].
Ada sebagian masyarakat yang sangat mengerti dengan politik menganggap bahwa
pemilu hanya sebagai sandiwara politik karena hakikatnya, pemilu hanya akan
menguntungkan secara politik dan ekonomi kepada kaum elit politik.
2. Tidak
terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT)
Warganegara yang
benar-benar ingin menggunakan hak suaranya justru tidak terdaftar dalam DPT.
3. Konsep
ideologis
Warganegara memiliki
ideologi yang kuat mengenai buruknya anggota dewan yang selama ini diekspos di
media massa. Hal tersebut tidak terlepas dari perilaku dan kinerja anggota
dewan dalam kapasitasnya sebagai wakil rakyat, yang dinilai gagal atau tidak
mempu menyuarakan aspirasi dan mewujudkan keinginan rakyat yang diwakilinya.
Bahkan tak sedikit, misalnya di antara mereka kemudian lebih mementingkan diri,
keluarga, dan kelompoknya.
4. Bingung
memilih
Banyak warganegara yang
masih merasa bingung ketika akan memilih, maka tidak sedikit dari mereka yang
memilih lebih dari satu partai politik.
Selain
karena alasan-alasan tersebut Gatut juga menyebutkan adanya tiga isu utama
dalam pergeseran fungsi politik yaitu:
1. Adanya
geopolitik
Yaitu politik menjadi
ruang global yang menembus sekat dan ruang tanpa batasan geografis yang jelas
sehingga kehilangan orientasinya untuk mengemban amanah rakyat.
2. Adanya
politik ruang
Yaitu ruang publik yang
menjadi orientasi politik dimana pencitraan menjadi tujuan utama.
3. Adanya
politik waktu
Yaitu esensi dan
perilaku substansi politik tidak diutamakan karena mengutamakan kecepatan dan
percepatan untuk mencapai kepentingan.
Ketiga isu di atas
membuat masyrakat tidak puas akan kinerja politik yang jauh dari kenyataan dan
jauh dari harapan mereka. Jadi fenomena golput merupakan reaksi atas gejala
politik yang gagal membawa perubahan bagi masyarakat.
Fenomena
tingginya angka golput pada era reformasi ini menunjukkan meluasnya apatisme
rakyat terhadap proses rekruitmen pemilihan pemimpin di daerah-daerah di
seluruh Indonesia. Apatisme ini muncul karena masyarakat berkali-kali telah
dikecewakan pada pemilu, pilpres, pilgub maupun pilkada. Pergantian seorang
pemimpin ternyata sama sekali tidak membawa perubahan perbaikan. Sehingga
masyarakat pun menarik kesimpulan sendiri bahwa siapapun yang memimpin tidak
ada bedanya.
C.
Tujuan
Warganegara Berperilaku Golput
Golput
dapat diartikan sebagai penolakan terhadap mekanisme dan sistem yang sedang
berjalan pada partai politik. Warganegara berperilaku politik bukan tanpa
tujuan. Dengan berperilaku golput mereka menghendaki adanya perubahan sistem
politik dalam kehidupa berbangsa dan bernegara. Adanya fenomena golput
diharapkan dapat menjadi simbol pembelajaran bagi setiap partai politik agar
mereka memperoleh lagi kepercayaan dari rakyat.
Fenomena
golput yang berkembang pada akhir-akhir ini khususnya pada pemilu 2014
merupakan reaksi warganegara untuk menyadarkan para anggota parlemen atau calon
pemimpin. Warganegara menginginkan calon pemimpin yang benar-benar pro rakyat
bukan pro partai. Mereka harus mengetahui dan memahami apa yang dibutuhkan
warganegaranya. Warganegara saat ini sudah pandai, jadi tidak seharusnya para
kaum elit politik memperdaya warganegaranya dengan politik uang ketika pemilu.
Bukan uang yang warganegara inginkan, tetapi kemakmuran, kesejahteraan, dan
kemajuan negara lah yang menjadi idaman. Akan tetapi hingga saat ini kaum elit
politik sama sekali tidak dapat memahami apa yang diinginkan oleh rakyatnya.
Mereka hanya memikirkan bagaimana mereka bisa mengembalikan modal yang telah
dikeluarkan untuk penyelenggaraan pemilu. Hal itu mereka lakukan dengan
menggunakan uang rakyat, kinerja mereka menjadi tidak amanah. Otomatis
perbuatan mereka juga melunturkan nilai-nilai demokrasi. Pemerintahan tidak
lagi berasal dari, oleh, dan untuk rakyat akan tetapi pemerintahan ada pada
tangan kaum elit politik.
Melihat
fakta-fakta tersebut warganegara tentunya tidak ingin negara Indonesia hancur
dengan calon-calon pemimpin yang tidak bertanggung jawab. Sehingga warganegara
lebih memilih untuk golput ketika pemilu berlangsung. Warganegara mengharapkan
para kaum elit politik menyadari, bahwa warganegara tidak menyukai kinerja
mereka yang sangat merugikan rakyat. Dengan adanya perilaku golput tersebut
maka para kaum elit politik diharapkan mampu untuk instrospeksi diri dan
instrospeksi kinerjanya selama ini di parlemen. Mereka tidak boleh lupa dengan
janji-janji mereka ketika kampanye. Janji untuk membawa rakyat pada kemakmuran
dan kesejahteraan serta obral janji lain.
Tujuan
masyarakat Indonesia berperilaku golput ketika pemilu adalah sebagai berikut.
1. Sebagai
simbol pembelajaran bagi partai politik.
Hal ini dikarenakan
beberapa penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Survei Nasional menunjukkan
bahwa kondisi parpol saat ini mengalami krisis kepercayaan di masyarakat
(Gatut, 2013: 85). Terkait hal tersebut hendaknya partai politik terlebih dulu
menyeleksi secara ketat setiap calon yang ingn maju agar tidak terjadi krisis
kepercayaan. Misalnya ketika Julia Perez yang berencana mencalonkan dirinya
sebagai wakil bupati Pacitan. Banyak pihak yang merasa keberatan akan hal ini. Masyarakat
era sekarang ini sudah pandai memilih. Jadi jika terdapat calon-calon yang
kiranya kurang berkompeten maka masyarakat lebih memilih untuk golput.
2. Berusaha
menjadikan golput sebagai sebuah peradaban semacam ideologi (hak asasi manusia).
Hal ini bukan berarti
golput lebih baik, akan tetapi ada kalanya golput itu memang harus dilakukan.
Untuk apa memilih calon-calon yang tidak cakap dan sering melanggar janjinya.
Hal itu justru akan meruntuhkan negara Indonesia.
3. Untuk
mengembalikan kepercayaan masyarakat akan masa depan demokrasi.
Selama ini masyarakat
tidak mendapatkan kepercayaan politik melainkan perdayaan atau penipuan
politik. Tidak ada realitas politik tetapi fatamorgana politik. Tidak ada
kebajikan politik tetapi permainan bebas politik. Fenomena inilah yang
memunculkan aneka golput (Gatut, 2013: 93).
Golput
merupakan refleksi hati nurani dan akal budi memantul terang di tengah
kehidupan politik Indonesia (Gatut, 2013: 114). Golput justru akan menjadi
refleksi hukum terhadap pejabat publik baik eksekutif maupun legislatif
pemimpin produk pemilu. Golput sebagai pilihan membentuk peta kekuatan baru
atau gagasan atau paradigma politik yang berorientasi pada kemaslahatan bangsa
bukan kepentingan parsial. Golput harus memberikan pencerahan dan energi
alternatif terhadap kegagalan substansi demokrasi yang diperjuangkan. Golput
sebagai gerakan sosial dan politik yang lahir dari pemahaman dan perjuangan
politik dan tulus demi mewujudkan keadilan Indonesia. Golput harus menjadi reformasi
politik, agen perubahan demi menemukan kembali demokrasi pancasila.
Oleh
karena itu dalam konteks demokrasi yang gagal ini golput tidak sekedar hanya
sebagai isu dan wacana politik tetapi menemukan sekaligus mendaur ulang
demokrasi pancasila menuju kematangan demokrasi yang ideal. Golput menjadi
strategi ampuh untuk menemukan kembali demokrasi Pancasila yang murni.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Perilaku
politik merupakan perilaku yang menampilkan kegiatan pelibatan dan keterlibatan
dalam proses pengambilan keputusan yang dibuat oleh pemerintah.Perwujudan
perilaku politik warganegara adalah melalui hak suara dalam pemilihan umum.
Perilaku politik warganegara memiliki banyak variasi. Setiap warganegara
memiliki cara tersendiri dalam berperilaku politik. Hal ini dapat kita lihat
pada waktu pemilihan umum. Ada warganegara yang menggunakan hak pilihnya dengan
benar, tetapi ada pula yang tidak atau sering kita sebut sebagai golongan putih
(golput).
Perkembangan
golput dimulai sejak orde lama hingga orde reformasi sekarang ini. Meskipun
tingkat persentasenya yang berbeda, semakin ke sini semakin meningkat. Tentunya
hal ini disebabkan oleh kondisi parlemen yang semakin buruk, sehingga mendorong
masyarakatnya untuk berperilaku golput dalam pemilu.
Sebagian
warganegara Indonesia lebih memilih untuk berperilaku golput merupakan karena
rasa kekecewaannya terhadap mekanisme politik. Kekecewaan tersebut muncul
karena berbagai alasan seperti:
1. Hilangnya
sosok kekharismaan pemimpin lokal yang hidup bersama rakyat seperti Soekarno.
2. Hilangnya
lembaga pengawal demokrasi yang ideal dari panggung politik.
3. Hilangnya
harapan hidup rakyat akibat tekanan dan ketidakadilan yang telah lama merasuk
dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Selain itu perilaku
golput itu muncul di masyarakat karena:
1. Adanya
sikap apatis untuk tidak memilih
2. Tidak
terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT)
3. Adanya
konsep ideologis
4. Adanya
rasa bingung dalam memilih
Masyarakat
berperilaku golput bukan tanpa tujuan, akan tetapi mereka memiliki argumentasi
kuat yang mendasari perilaku golput, di antaranya sebagai berikut:
1. Sebagai
simbol pembelajaran bagi partai politik.
2. Berusaha
menjadikan golput sebagai sebuah peradaban semacam ideologi (hak asasi
manusia).
3. Untuk
mengembalikan kepercayaan masyarakat akan masa depan demokrasi.
B.
Saran
Hak
pilih dan memilih memang seharusnya digunakan dengan baik dan benar. Bagi yang
tidak menggunakannya lalu menjadi golput hendaknya menjadi golput aktif yaitu
golput yang mampu menyumbangkan pikiran, tenaga dan kekuatan politiknya.
Melakukan pendidikan politik demi menemukan kembali demokrasi yang gagal
diaplikasikan bagi kehidupan masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Saksono, Gatut. 2013. Golput dan Masa Depan Bangsa-Golput Sebagai
Koreksi Konstruktif para Parpol, Negara, dan Realitas Hidup. Yogyakarta:
Elmatera.
Sumber
internet:
http://teori-ilmupemerintahan.blogspot.com/2010/12/perilaku-politik.html
(Diakses 19 Oktober 2014 pukul 16.00)
_______ Pemilih Apatis dan Pragmatis-Golput
sebagai Sikap Apatis Masyarakat terhadap Pemilu.http://novithen.wordpress.com/pemilih-apatis-dan-pragmatis/. (Diakses 19 Oktober 2014 pukul 16.25)