Kamis, 23 Oktober 2014



yang bingung mau buat makalah tentang perilaku politik, ni bisa jadi referensi guys :D

BAB I
PENDAHULUAN

A.  LATAR BELAKANG
Perilaku politik merupakan perilaku yang menampilkan kegiatan pelibatan dan keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan yang dibuat oleh pemerintah[1].Perilaku politik dapat kita temukan pada aktivis-aktivis politik seperti anggota partai, parlemen, negarawan, politisi, dan lain sebagainya. Selain itu dapat pula ditemukan pada setiap individu manusia khususnya warganegara Indonesia, seperti yang akan penulis bahas dalam makalah ini. Perwujudan perilaku politik warganegara adalah melalui hak suara dalam pemilihan umum. Perilaku politik tiap individu berbeda-beda berdasarkan faktor yang mempengaruhinya dan lingkungan tempat individu itu berada.
Jika kita amati bersama, perilaku politik warganegara memiliki banyak variasi. Setiap warganegara memiliki cara tersendiri dalam berperilaku politik. Hal ini dapat kita lihat pada waktu pemilihan umum. Ada warganegara yang menggunakan hak pilihnya dengan benar, tetapi ada pula yang tidak atau sering kita sebut sebagai golongan putih (golput). Golput digunakan untuk merujuk pada fenomena: orang yang tidak menghadiri tempat pemungutan suara, orang yang datang ke tempat pemungutan suara tetapi tidak menggunakan hak pilihnya, dan orang yang menggunakan hak pilihnya namun dengan jalan menusuk bagian putih dari kartu suara. Bukan tanpa alasan warganegara Indonesia memilih untuk golput. Warganegara golput bukan berarti mereka tidak peduli terhadap masa depan negara. Mereka memiliki berbagai pertimbangan, salah satunya karena mereka menganggap bahwa para calon pemimpin atau calon wakil rakyat tidak berkompeten.Jadi jalan untuk golput ini diharapkan dapat menjadi koreksi konstruktif terhadap partai politik, negara, dan realitas hidup.
Melihat perilaku politik yang demikian ini, penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai perilaku golput. Penulis akan membahasnya secara rinci hal-hal apa saja yang mendasari warganegara untuk golput.

B.  RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana awal mula terjadinya golput ?
2.      Apa alasan warganegara untuk berperilaku golput ?
3.      Apa tujuan warganegara yang berperilaku golput ?

C.  TUJUAN PENULISAN
1.      Untuk menjelaskan awal mula terjadinya perilaku golput.
2.      Untuk menjelaskan alasan warganegara untuk berperilaku golput.
3.      Untuk menjelaskan tujuan warganegara yang berperilaku golput.

D.  MANFAAT
Selain untuk mencapai tujuan, penulis juga memiliki manfaat yang jelas dari penulisan makalah ini. Adapun manfaat dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1.    Secara praktis, makalah ini diharapkan dapat menjadi tambahan wawasan kepada penulis, masyarakat dan pihak-pihak lain yang membutuhkan, tentang perilaku politik warganegara Indonesia.
2.    Secara teoritis, makalah ini diharapkan mampu menjadikan inspirasi dalam pembuatan makalah. Setidaknya tulisan ini mampu memberikan gambaran dan referensi untuk membuat makalah yang lebih baik lagi.







BAB II
PEMBAHASAN

A.  Awal Mula Terjadinya Perilaku Golput
Kata golput adalah singkatan dari golongan putih. Makna inti dari kata golput adalah tidak menggunakan hak pilih dalam pemilu dengan berbagai faktor dan alasan.Gatut Saksono (2013: 49) mengutarakan sejarah munculnya perilaku politik sebagai berikut:
1.      Golput pada Masa Sebelum dan Sesudah Orde Baru
Pada masa sebelum orde baru hanya terdapat satu pemilu yaitu pada tahun 1955. Pemilu yang pertama itu berlangsung dengan penuh semangat, karena pada waktu itu semangat proklamasi sangat menggebu-gebu. Tidak terdapat perilaku curang atau golput pada pemilu pertama ini. Rakyat yang masih memiliki rasa nasionalisme tinggi benar-benar mencoblos tanda gambar partainya berdasarkan pilihan ideologinya dengan penuh rasa sadar dan ikhlas. Hasil Pemilu 1955 dengan daftar pemilih sebanyak 43.104 juta, dengan partisipasi pemilih sebesar 91,41 %. Mereka yang tidak menggunakan hak pilihnya sebanyak 8,59 %. Hal ini bukan karena warganegara golput tetapi karena tempat tinggal mereka yang jauh dari tempat pemungutan suara, banyaknya warganegara yang buta huruf.
Pemilu pertana Orde Baru berlangsung pada tahun 1971. Mayoritas suara parlemen berada pada rezim Soeharto. Semua ada pada pengaruh Soeharto, banyak anggota parlemen yang terpilih tanpa melalui pemilihan. Mereka yang menjadi anggota MPR berasal dari Orsospol dan golongan fungsional lain. Mereka telah dicuci otaknya. Suara mereka di sidang MPR tidak boleh berlawanan dengan ideologi pembangunan orba yang sangat otoriter. Bagi mereka yang menentang akan dipecat. Pada masa pemerintahan orba mulai muncul perilaku golput, meskipun tidak berumur panjang. Ada dua kelompok oposisi yang muncul pada era Soeharto yaitu Petisi 50 dan Gerakan Rakyat Marhaen (GRM). Kedua kelompok ini sebagai pelopor munculnya perilaku golput. Sehingga pada era orba terdapat peningkatan jumlah golput yang sangat tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat ketidakpuasan rakyat pada pemerintahan orba. Soeharto mengingkari janji-janjinya untuk memajukan perekonomian Indonesia dengan berlandaskan Pancasila.
2.      Golput pada Masa Reformasi
Menurut catatan Jaringan Pendidikan Pemilihan untuk Rakyat (JPPR), dari 26 Pemilu kepala daerah tingkat provinsi yang berlangsung sejak tahun 2005 hingga 2008, 13 Pemilu Gubernur justru dimenangi golongan putih alias golput. Kondisi ini menular ke DKI Jakarta, jumlah pemilih golput mencapai 39,2 %. Hal ini terjadi karena sebagian besar warga ibukota meragukan proses pesta demokrasi yang baru pertama kali dilaksanakan di kota Jakarta. Akan tetapi pada pemilukada 2012 angka golput turun menjadi 37 %. Rupanya pemilukada 2012 sedikit mengubah perilaku politik warganegara karena sosok Jokowi dipandang sebagai pahlawan perubahan.
Terdapat pula daerah-daerah lain yang angka golputnya sangat tinggi seperti di Jawa Barat, Medan, Jawa Timur, Banyumas, dan lain sebagainya. Meningkatnya angka golput tidak lagi dapat dibendung meskipun berbagai upaya telah dilakukan, seperti melalui iklan media massa, via seluler, bahkan fatwa MUI sekalipun. Karena sebagian dari warganegara sudah mulai terkonsep dalam pemikirannya bahwa sebagian besar partai politik tidak layak mendapatkan kepercayaan dari suara rakyat.
Jika kita cermati bersama, pemilu demokratis hanya terjadi pada pemilu pertama kali yaitu pada tahun 1955. Setelah itu apalagi di era reformasi ini semakin banyak ditemukan fenomena golput di masyarakat. Golput memang bukan pilihan yang paling bijak dan tepat, namun ada kalanya golput harus dilakukan pada situasi tertentu. Dapat kita bayangkan jika tokoh-tokoh partai yang mencalonkan diri tidak ada yang berkompeten dan kita harus memilih salah satu. Justru negara Indonesia akan semakin hancur jika kita telah memilih calon yang salah. Ketika itulah masyarakat lebih memilih untuk golput. Masyarakat beranggapan bahwa dengan tidak memilih, calon pemimpin akan menyadari apakah dirinya benar-benar berkompeten atau tidak.
Sebenarnya golput dapat diminimalisasi jika kinerja parlemen selalu amanah. Seperti pada pemilu pertama kali tahun 1955. Semua berlangsung adil dan demokratis. Hampir seluruh daftar pemilih menggunakan hak suaranya dengan benar. Jika pun ada yang tidak memilih itu tidak termasuk dalam kategori golput. Akan tetapi terjadi karena alasan-alasan tertentu yang sangat tidak memungkinkan, seperti yang sudah dijelaskan di atas.

B.  Alasan Warganegara Berperilaku Golput
Sebagian warganegara Indonesia lebih memilih untuk berperilaku golput merupakan bentuk kekecewaannya terhadap mekanisme politik. Kekecewaan tersebut muncul karena berbagai alasan seperti:
1.      Hilangnya sosok kekharismaan pemimpin lokal yang hidup bersama rakyat seperti Soekarno.
2.      Hilangnya lembaga pengawal demokrasi yang ideal dari panggung politik.
3.      Hilangnya harapan hidup rakyat akibat tekanan dan ketidakadilan yang telah lama merasuk dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Hal-hal semacam itulah yang menyebabkan rakyat menjadi apatis, tidak percaya pada seluruh proses demokrasi, dan pada akhirnya golput menjadi pilihan yang paling rasional.
Lebih jelasnya Gatut Saksono (2013: 76) menjelaskan beberapa alasan warganegara berperilaku golput, sebagai berikut.
1.      Sikap apatis untuk tidak memilih
Warganegara berpandangan bahwa apapun/siapapun partai politik yang menang tidak ada perubahan yang signifikan. Lebih baik mereka bekerja untuk menghidupi keluarga. Warganegara memandang kaum elit politik tidak mengalami perubahan yang jelas. Hal ini bisa dari masyarakat yang menjadi korban kebijakan politik yang sedang berkuasa[2]. Ada sebagian masyarakat yang sangat mengerti dengan politik menganggap bahwa pemilu hanya sebagai sandiwara politik karena hakikatnya, pemilu hanya akan menguntungkan secara politik dan ekonomi kepada kaum elit politik.
2.      Tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT)
Warganegara yang benar-benar ingin menggunakan hak suaranya justru tidak terdaftar dalam DPT.
3.      Konsep ideologis
Warganegara memiliki ideologi yang kuat mengenai buruknya anggota dewan yang selama ini diekspos di media massa. Hal tersebut tidak terlepas dari perilaku dan kinerja anggota dewan dalam kapasitasnya sebagai wakil rakyat, yang dinilai gagal atau tidak mempu menyuarakan aspirasi dan mewujudkan keinginan rakyat yang diwakilinya. Bahkan tak sedikit, misalnya di antara mereka kemudian lebih mementingkan diri, keluarga, dan kelompoknya.
4.      Bingung memilih
Banyak warganegara yang masih merasa bingung ketika akan memilih, maka tidak sedikit dari mereka yang memilih lebih dari satu partai politik.
Selain karena alasan-alasan tersebut Gatut juga menyebutkan adanya tiga isu utama dalam pergeseran fungsi politik yaitu:
1.      Adanya geopolitik
Yaitu politik menjadi ruang global yang menembus sekat dan ruang tanpa batasan geografis yang jelas sehingga kehilangan orientasinya untuk mengemban amanah rakyat.
2.      Adanya politik ruang
Yaitu ruang publik yang menjadi orientasi politik dimana pencitraan menjadi tujuan utama.
3.      Adanya politik waktu
Yaitu esensi dan perilaku substansi politik tidak diutamakan karena mengutamakan kecepatan dan percepatan untuk mencapai kepentingan.
Ketiga isu di atas membuat masyrakat tidak puas akan kinerja politik yang jauh dari kenyataan dan jauh dari harapan mereka. Jadi fenomena golput merupakan reaksi atas gejala politik yang gagal membawa perubahan bagi masyarakat.
Fenomena tingginya angka golput pada era reformasi ini menunjukkan meluasnya apatisme rakyat terhadap proses rekruitmen pemilihan pemimpin di daerah-daerah di seluruh Indonesia. Apatisme ini muncul karena masyarakat berkali-kali telah dikecewakan pada pemilu, pilpres, pilgub maupun pilkada. Pergantian seorang pemimpin ternyata sama sekali tidak membawa perubahan perbaikan. Sehingga masyarakat pun menarik kesimpulan sendiri bahwa siapapun yang memimpin tidak ada bedanya.

C.  Tujuan Warganegara Berperilaku Golput
Golput dapat diartikan sebagai penolakan terhadap mekanisme dan sistem yang sedang berjalan pada partai politik. Warganegara berperilaku politik bukan tanpa tujuan. Dengan berperilaku golput mereka menghendaki adanya perubahan sistem politik dalam kehidupa berbangsa dan bernegara. Adanya fenomena golput diharapkan dapat menjadi simbol pembelajaran bagi setiap partai politik agar mereka memperoleh lagi kepercayaan dari rakyat. 
Fenomena golput yang berkembang pada akhir-akhir ini khususnya pada pemilu 2014 merupakan reaksi warganegara untuk menyadarkan para anggota parlemen atau calon pemimpin. Warganegara menginginkan calon pemimpin yang benar-benar pro rakyat bukan pro partai. Mereka harus mengetahui dan memahami apa yang dibutuhkan warganegaranya. Warganegara saat ini sudah pandai, jadi tidak seharusnya para kaum elit politik memperdaya warganegaranya dengan politik uang ketika pemilu. Bukan uang yang warganegara inginkan, tetapi kemakmuran, kesejahteraan, dan kemajuan negara lah yang menjadi idaman. Akan tetapi hingga saat ini kaum elit politik sama sekali tidak dapat memahami apa yang diinginkan oleh rakyatnya. Mereka hanya memikirkan bagaimana mereka bisa mengembalikan modal yang telah dikeluarkan untuk penyelenggaraan pemilu. Hal itu mereka lakukan dengan menggunakan uang rakyat, kinerja mereka menjadi tidak amanah. Otomatis perbuatan mereka juga melunturkan nilai-nilai demokrasi. Pemerintahan tidak lagi berasal dari, oleh, dan untuk rakyat akan tetapi pemerintahan ada pada tangan kaum elit politik.
Melihat fakta-fakta tersebut warganegara tentunya tidak ingin negara Indonesia hancur dengan calon-calon pemimpin yang tidak bertanggung jawab. Sehingga warganegara lebih memilih untuk golput ketika pemilu berlangsung. Warganegara mengharapkan para kaum elit politik menyadari, bahwa warganegara tidak menyukai kinerja mereka yang sangat merugikan rakyat. Dengan adanya perilaku golput tersebut maka para kaum elit politik diharapkan mampu untuk instrospeksi diri dan instrospeksi kinerjanya selama ini di parlemen. Mereka tidak boleh lupa dengan janji-janji mereka ketika kampanye. Janji untuk membawa rakyat pada kemakmuran dan kesejahteraan serta obral janji lain.
Tujuan masyarakat Indonesia berperilaku golput ketika pemilu adalah sebagai berikut.
1.      Sebagai simbol pembelajaran bagi partai politik.
Hal ini dikarenakan beberapa penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Survei Nasional menunjukkan bahwa kondisi parpol saat ini mengalami krisis kepercayaan di masyarakat (Gatut, 2013: 85). Terkait hal tersebut hendaknya partai politik terlebih dulu menyeleksi secara ketat setiap calon yang ingn maju agar tidak terjadi krisis kepercayaan. Misalnya ketika Julia Perez yang berencana mencalonkan dirinya sebagai wakil bupati Pacitan. Banyak pihak yang merasa keberatan akan hal ini. Masyarakat era sekarang ini sudah pandai memilih. Jadi jika terdapat calon-calon yang kiranya kurang berkompeten maka masyarakat lebih memilih untuk golput.
2.      Berusaha menjadikan golput sebagai sebuah peradaban semacam ideologi (hak asasi manusia).
Hal ini bukan berarti golput lebih baik, akan tetapi ada kalanya golput itu memang harus dilakukan. Untuk apa memilih calon-calon yang tidak cakap dan sering melanggar janjinya. Hal itu justru akan meruntuhkan negara Indonesia.
3.      Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat akan masa depan demokrasi.
Selama ini masyarakat tidak mendapatkan kepercayaan politik melainkan perdayaan atau penipuan politik. Tidak ada realitas politik tetapi fatamorgana politik. Tidak ada kebajikan politik tetapi permainan bebas politik. Fenomena inilah yang memunculkan aneka golput (Gatut, 2013: 93).

Golput merupakan refleksi hati nurani dan akal budi memantul terang di tengah kehidupan politik Indonesia (Gatut, 2013: 114). Golput justru akan menjadi refleksi hukum terhadap pejabat publik baik eksekutif maupun legislatif pemimpin produk pemilu. Golput sebagai pilihan membentuk peta kekuatan baru atau gagasan atau paradigma politik yang berorientasi pada kemaslahatan bangsa bukan kepentingan parsial. Golput harus memberikan pencerahan dan energi alternatif terhadap kegagalan substansi demokrasi yang diperjuangkan. Golput sebagai gerakan sosial dan politik yang lahir dari pemahaman dan perjuangan politik dan tulus demi mewujudkan keadilan Indonesia. Golput harus menjadi reformasi politik, agen perubahan demi menemukan kembali demokrasi pancasila.
Oleh karena itu dalam konteks demokrasi yang gagal ini golput tidak sekedar hanya sebagai isu dan wacana politik tetapi menemukan sekaligus mendaur ulang demokrasi pancasila menuju kematangan demokrasi yang ideal. Golput menjadi strategi ampuh untuk menemukan kembali demokrasi Pancasila yang murni.









BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Perilaku politik merupakan perilaku yang menampilkan kegiatan pelibatan dan keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan yang dibuat oleh pemerintah.Perwujudan perilaku politik warganegara adalah melalui hak suara dalam pemilihan umum. Perilaku politik warganegara memiliki banyak variasi. Setiap warganegara memiliki cara tersendiri dalam berperilaku politik. Hal ini dapat kita lihat pada waktu pemilihan umum. Ada warganegara yang menggunakan hak pilihnya dengan benar, tetapi ada pula yang tidak atau sering kita sebut sebagai golongan putih (golput).
Perkembangan golput dimulai sejak orde lama hingga orde reformasi sekarang ini. Meskipun tingkat persentasenya yang berbeda, semakin ke sini semakin meningkat. Tentunya hal ini disebabkan oleh kondisi parlemen yang semakin buruk, sehingga mendorong masyarakatnya untuk berperilaku golput dalam pemilu.
Sebagian warganegara Indonesia lebih memilih untuk berperilaku golput merupakan karena rasa kekecewaannya terhadap mekanisme politik. Kekecewaan tersebut muncul karena berbagai alasan seperti:
1.      Hilangnya sosok kekharismaan pemimpin lokal yang hidup bersama rakyat seperti Soekarno.
2.      Hilangnya lembaga pengawal demokrasi yang ideal dari panggung politik.
3.      Hilangnya harapan hidup rakyat akibat tekanan dan ketidakadilan yang telah lama merasuk dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Selain itu perilaku golput itu muncul di masyarakat karena:
1.      Adanya sikap apatis untuk tidak memilih
2.      Tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT)
3.      Adanya konsep ideologis
4.      Adanya rasa bingung dalam memilih
Masyarakat berperilaku golput bukan tanpa tujuan, akan tetapi mereka memiliki argumentasi kuat yang mendasari perilaku golput, di antaranya sebagai berikut:
1.      Sebagai simbol pembelajaran bagi partai politik.
2.      Berusaha menjadikan golput sebagai sebuah peradaban semacam ideologi (hak asasi manusia).
3.      Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat akan masa depan demokrasi.

B.  Saran
Hak pilih dan memilih memang seharusnya digunakan dengan baik dan benar. Bagi yang tidak menggunakannya lalu menjadi golput hendaknya menjadi golput aktif yaitu golput yang mampu menyumbangkan pikiran, tenaga dan kekuatan politiknya. Melakukan pendidikan politik demi menemukan kembali demokrasi yang gagal diaplikasikan bagi kehidupan masyarakat.















DAFTAR PUSTAKA

Saksono, Gatut. 2013. Golput dan Masa Depan Bangsa-Golput Sebagai Koreksi Konstruktif para Parpol, Negara, dan Realitas Hidup. Yogyakarta: Elmatera.

Sumber internet:
_______ Pemilih Apatis dan  Pragmatis-Golput sebagai Sikap Apatis Masyarakat terhadap Pemilu.http://novithen.wordpress.com/pemilih-apatis-dan-pragmatis/. (Diakses 19 Oktober 2014 pukul 16.25)


[1]http://teori-ilmupemerintahan.blogspot.com/2010/12/perilaku-politik.html